Cherreads

Aku Raja Game Dunia

Harimau_Sholawat
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
15
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Tumbuh di Era Debu dan Cahaya

Sip 🙌, aku akan kembangkan bagian awal ini jauh lebih panjang, detail, dan menyeluruh. Bukan sekadar deskripsi suasana, tapi juga psikologi tokoh, kehidupan sosial budaya desa Jawa tahun 1979–1980, konflik keluarga, serta kedalaman obsesi Arga. Tujuannya biar pembaca bisa benar-benar merasakan atmosfer dan ikut larut dalam dunia si tokoh utama.

Chapter 1 (Versi Ekspansi): Tumbuh di Era Debu dan Cahaya

Di sebuah desa kecil di pedalaman Jawa Tengah, tahun 1979, waktu bergerak pelan seperti aliran sungai yang malas mengalir. Jalan masih berupa tanah liat yang becek saat hujan, dan berdebu ketika kering. Malam-malam di desa hanya diterangi lampu minyak atau sesekali lampu listrik redup dari tiang kayu PLN yang belum merata ke setiap rumah.

Di teras sebuah rumah panggung dari kayu jati, seorang pemuda bernama Arga duduk termenung. Malam begitu hening, hanya ditemani suara jangkrik dari pematang sawah dan sesekali gonggongan anjing kampung di kejauhan. Lampu minyak yang bergoyang diterpa angin memantulkan bayangan samar pada dinding anyaman bambu.

Namun, dunia yang ada di kepala Arga sama sekali tidak senyap.

Di depannya, terbuka sebuah majalah elektronik lawas berbahasa Inggris. Kertasnya lusuh, penuh lipatan, beberapa halamannya nyaris lepas, dan sebagian terkena noda kopi. Bagi kebanyakan orang desa, itu hanyalah tumpukan kertas tak berguna yang sulit dibaca. Tapi bagi Arga, benda itu adalah jendela ke dunia lain—dunia yang penuh cahaya neon, suara mesin, dan imajinasi tanpa batas.

Jari telunjuknya menyusuri tulisan di halaman tengah. Ia mengeja perlahan, terbata-bata.

"M-O-S… six… five… zero… two… micro… processor… Atari V-C-S…"

Matanya yang kelelahan karena cahaya lampu minyak tiba-tiba berkilat. Hatinya berdebar lebih cepat, seperti seorang bocah yang baru saja menemukan harta karun.

"Kalau semua ini bisa kurakit… mungkin aku bisa membuat benda yang hanya ada di luar negeri itu: console game."

Mimpi Aneh di Mata Orang Desa

Di tahun itu, kata komputer sendiri masih asing di telinga banyak orang, apalagi console game. Bagi keluarganya, dunia digital hanyalah sesuatu yang kadang disebut-sebut di televisi hitam-putih, dalam berita tentang "negara maju". Game, bagi mereka, hanyalah mainan anak kota yang sekali-sekali muncul di koran, atau kabar dari kerabat yang kerja di Jakarta.

"Arga ini aneh," bisik para tetangga.

"Anak muda seharusnya membantu orang tua ke sawah, bukan bengong lihat buku yang nggak jelas tulisannya."

"Paling nanti cuma jadi tukang servis radio."

Bagi orang kampung, kerja keras di sawah, mengurus ternak, dan bertahan dengan hasil bumi adalah jalan hidup yang nyata. Apa gunanya bermimpi tentang kotak elektronik yang menampilkan gambar bergerak?

Namun, Arga berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu haus akan pengetahuan. Ia tidak puas dengan jawaban "begitulah adanya".

Berteman dengan Kertas, Bukan dengan Manusia

Sejak SMP, ia mengumpulkan buku bekas dari pasar loak. Artikel elektronik dari koran luar negeri, brosur peralatan listrik yang tak sengaja dibawa pedagang impor, hingga potongan katalog komponen yang tak dipahami orang desa, semua ia simpan rapi di kotak kardus.

Setiap malam, saat orang lain tidur, Arga duduk bersila dengan pensil tumpul, menyalin skema sirkuit yang bahkan ia tak sepenuhnya mengerti. Garis-garis kabel, simbol resistor, kapasitor, transistor—semuanya digambar ulang berulang-ulang. Kadang ia hanya menyalin kata-kata asing tanpa tahu arti sebenarnya.

"Logic gate… shift register… bus data…"

Meski tak paham penuh, ia menuliskannya dengan telaten. Ia percaya, suatu hari kata-kata itu akan terbuka maknanya seperti teka-teki yang disimpan semesta.

Benturan dengan Realitas

Namun, obsesi itu membuatnya sering bentrok dengan ayahnya, seorang petani keras yang terbiasa hidup disiplin di sawah.

"Arga!" suara bapaknya bergema dari dalam rumah. "Besok pagi ikut ke sawah. Jangan kebanyakan main dengan kertas nggak jelas itu. Listrik saja sering mati, kamu masih ngotot ngurusi barang asing yang tak ada gunanya."

Arga buru-buru menutup majalahnya, menunduk.

"Nggih, Pak…" jawabnya lirih.

Tapi begitu lampu dimatikan, ia kembali membuka catatannya. Matanya menatap kosong pada sirkuit yang ia gambar.

"Kalau aku hanya ikut sawah… hidupku akan sama seperti semua orang di sini. Tidak ada yang berubah. Tapi kalau aku berhasil menciptakan sesuatu… mungkin dunia akan berbeda. Mungkin aku bisa membuat orang lain melihat sesuatu yang lebih dari sekadar sawah dan lumpur."

Kata-kata itu hanya bergema di dalam hati. Ia tahu, andai diucapkan keras-keras, semua orang hanya akan menertawakannya.

Konflik batin itu membuat Arga semakin keras kepala. Ia mulai mencari cara agar tetap belajar tanpa ketahuan. Saat semua orang tidur, ia menyalakan lampu minyak kecil, lalu menyolder komponen bekas radio butut yang ia beli dari pasar loak. Tangannya sering melepuh kena timah panas. Kadang komponen meledak kecil, membuatnya terbatuk-batuk karena asap. Tapi justru di situlah ia merasakan gairah hidup.

Jam dinding bambu berdetak pelan. Tengah malam. Saat itulah Arga melakukan "ritual"-nya. Dengan hati-hati, ia keluarkan radio butut yang sudah tak berfungsi dari bawah tempat tidur. Dari pasar loak ia membeli obeng kecil, timah, dan solder bekas. Tangannya cekatan membongkar papan sirkuit radio itu, lalu mencoba menyambung ulang jalur-jalurnya.

Asap timah membumbung tipis, membuat matanya perih. Jari telunjuknya lecet, kadang melepuh kena panas. Tapi setiap kali sebuah lampu LED kecil menyala, atau speaker radio mengeluarkan bunyi berderak, wajah Arga bersinar puas.

"Berhasil… meski cuma sedikit… tapi aku mulai mengerti."

Ia mulai belajar bahwa dunia elektronik adalah dunia eksperimen. Tidak semua teori di majalah bisa langsung dipraktikkan, tapi setiap kesalahan memberinya pemahaman baru.

Pandangan Pertama pada "Game"

Suatu sore, kehidupan Arga berubah sedikit. Seorang pemuda tetangga desa baru pulang dari Jepang. Dari tasnya, ia mengeluarkan benda kecil dengan layar LCD—Game & Watch.

Anak-anak desa langsung berkerumun. Tawa dan sorak terdengar ketika mereka melihat "orang kecil" di layar bergerak, menangkap bola, melompat, atau memanjat.

Arga menatap benda itu dengan tatapan berbeda. Ia tidak hanya melihat permainan. Ia melihat sistem. Bagaimana tombol sederhana bisa memberi input, bagaimana layar bisa menampilkan sprite, bagaimana suara bisa sinkron dengan gerakan.

Malamnya, ia tidak bisa tidur. Pikirannya penuh pertanyaan.

"Kalau perangkat sekecil ini bisa bergerak… berarti ada cara untuk menyimpan instruksi di dalamnya. Kalau aku bisa menguasai caranya, aku bisa membuat sesuatu yang lebih besar. Bahkan… sesuatu yang jauh melampaui ini."

Hari berikutnya, dengan alasan penasaran, ia meminjam Game & Watch itu. Tapi alih-alih bermain, ia langsung membongkarnya dengan obeng. Tetangganya marah-marah, tapi Arga sudah terlanjur memandangi papan sirkuit mungil itu dengan mata penuh api.

Bibit Takdir

Sejak hari itu, dunia Arga semakin terbagi dua. Siang hari ia tetap ke sawah, membantu bapaknya menanam padi atau memelihara sapi. Tapi malam hari, ia berubah menjadi penjelajah dunia lain—dunia mesin, angka, dan logika.

Ia mulai bermimpi: bukan lagi sekadar bisa merakit radio, tapi menciptakan mesin hiburan interaktif yang bahkan orang Jepang sekalipun belum pernah bayangkan.

Takdirnya perlahan menuntunnya keluar dari desa kecil itu. Tapi saat itu, ia belum tahu… bahwa obsesi kecilnya di bawah cahaya lampu minyak akan menjadi awal dari perjalanan yang akan mengguncang seluruh industri game dunia.

Benih Pemikiran Modern di Kepala Kuno

Suatu malam, setelah berhari-hari gagal membuat sirkuit logika sederhana menyala, ia menatap papan komponennya dengan putus asa. Namun, di otaknya muncul ingatan samar tentang artikel yang pernah ia baca mengenai komputer masa depan. Artikel itu menjelaskan soal modular architecture, resource management, dan istilah asing lain yang bahkan tidak digunakan di tahun itu.

Arga menulis di buku catatannya:

"Jika komputer masa depan bisa modular, berarti console juga bisa modular."

"Kalau memory terbatas, harus ada sistem manajemen resource yang efisien."

"Game bukan sekadar hiburan… game adalah interaksi manusia dengan mesin."

Catatan ini terasa terlalu jauh untuk ukuran anak kampung tahun 1980. Tapi Arga percaya bahwa semua ide gila bisa diwujudkan dengan waktu.

Pertemuan Pertama dengan Dunia Luar

Suatu hari, seorang pemuda tetangga desa yang baru pulang dari Jepang membawa oleh-oleh unik: Game & Watch. Sebuah perangkat kecil dengan layar LCD sederhana. Anak-anak kampung berkerumun, kagum melihat "orang" di dalam layar bisa bergerak, menangkap bola, memanjat, atau melompat.

Arga menatap layar kecil itu, terdiam lama.

"Kalau ini bisa berjalan dengan baterai kecil, berarti sistemnya sederhana. Kalau aku bisa mempelajarinya, aku bisa membuat sesuatu yang lebih besar… bahkan lebih canggih."

Malamnya, ia membongkar Game & Watch itu dengan obeng bekas. Tetangganya marah-marah, tapi Arga sudah terlanjur terpesona dengan papan sirkuit kecil di dalamnya. Dari situlah, obsesinya semakin besar.

Pintu ke Tokyo

Bertahun-tahun kemudian, nasib membawa Arga mendapatkan beasiswa untuk belajar teknik di Jepang. Tahun itu, 1980, Tokyo adalah kota neon: arcade mulai menjamur, televisi berwarna mulai menguasai rumah tangga, dan industri elektronik Jepang sedang menanjak cepat.

Saat pesawatnya mendarat di Haneda, Arga merasa seperti dilempar ke dunia lain.

Bangunan tinggi, kereta cepat, papan neon bergambar karakter game arcade. Baginya, semua itu bukan sekadar pemandangan — itu adalah panggung tempat ia akan mengubah dunia.

Di asrama universitas, ia melihat mahasiswa Jepang bermain Space Invaders. Mereka tertawa, berkompetisi mencetak skor tertinggi. Arga berdiri di pojok, matanya menatap layar, tapi pikirannya jauh melampaui.

"Game seperti ini bisa memukau dunia… lalu bagaimana jika aku membawa teknologi dari masa depan? Apa dunia akan siap? Atau justru akan menolak?"

Konflik Batin Awal

Arga mulai membuat rencana besar:

Ia ingin membuat konsol lebih kuat daripada Famicom bahkan sebelum Famicom rilis.

Ia ingin membuat game library dengan remake dari game masa depan.

Ia ingin mendesain sistem software engine yang fleksibel: bisa digunakan siapa saja, bahkan oleh developer kecil.

Namun, ketakutan pun menghantam:

Kalau aku terlalu cepat, industri bisa kacau.

Kalau aku gagal, aku hanya jadi mahasiswa asing yang dicap aneh.

Kalau ada perusahaan besar tahu, mereka bisa mencuri desainku.

Di kamar sempit asrama, ia menatap koper cokelat tua yang menyimpan harddisk kuantum—warisan dari masa depannya. Ia menggenggam erat benda itu.

"Aku tidak boleh gegabah… tapi aku juga tidak bisa menahan mimpi ini."

Malam itu, di antara suara kereta bawah tanah yang bergemuruh di kejauhan, Arga mengambil pensil dan menggambar skema pertama "ASTRA VISION 8" — konsol yang kelak akan mengubah arah sejarah industri game.