Cherreads

Chapter 3 - 3. THE MASTER MEMORY - HARI YANG MELELAHKAN[A WEARY DAY]

[ID] Aku duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang. Hari ini akan panjang, waktu menunjukkan pukul 06.30 WITA. Tiga puluh menit lagi kesibukanku akan kembali menguras energi. Aku harus berangkat sekolah, menghadapi tumpukan tugas, pelajaran, dan aktivitas tambahan. Tapi keberadaan NUSA.I membuat semuanya lebih mudah, seperti teman yang menuntun langkah tanpa menekan.

[EN] I sat at the edge of my bed and took a deep breath. It was going to be a long day, the clock showed 6:30 a.m. in Bali time. In thirty minutes, my busy schedule would drain my energy again. I had to go to school, face assignments, lessons, and extracurriculars. Yet, NUSA.I’s presence made everything easier, like a friend who guides without pressure.

[ID] “Sepuluh pesan masuk dan sepuluh panggilan tak terjawab terdeteksi. Mau saya tampilkan?” kata NUSA.I.

“Nggak usah, tenang saja. Aku pasti sampai tepat waktu,” jawabku sambil memakai baju.

“Saya sudah merangkum jadwal dan kegiatanmu hari ini. Mau saya bacakan?” tanya NUSA.I.

“Nggak usah,” jawabku sambil berlari kecil menuju kendaraan roda duaku.

“Sepertinya kamu selalu berkata begitu,” balas NUSA.I, terdengar menahan tawa.

[EN] “Ten incoming messages and ten missed calls detected. Would you like me to display them?” asked NUSA.I.

“No need, relax. I’ll get there on time,” I replied while getting dressed.

“I’ve summarized your schedule for today. Shall I read it out?” she asked.

“No need,” I said again, running toward my two-wheeled vehicle.

“You seem to always say that,” NUSA.I replied, sounding like she was holding back a laugh.

[ID] Aku tersenyum, menatap jendela. Angin pagi membawa aroma laut dan tanah basah, mencampur jadi simfoni alami. Motor listrikku menyala, getaran lembut menandakan kesiapan. Aku melaju pelan di jalan desa, mendengar suara pedagang, tawa anak-anak, gamelan jauh di kejauhan, dan desiran sawah yang membelai telinga.

[EN] I smiled, gazing out the window. The morning breeze carried the scent of the sea and damp earth, blending into a natural symphony. My electric bike hummed to life, its soft vibration signaling readiness. I rode slowly through the village road, hearing vendors’ calls, children’s laughter, distant gamelan music, and the rustle of rice fields brushing against the wind.

[ID] Sekolahku futuristik tapi ramah. Dinding transparan menembus cahaya, ruang kelas bisa berubah jadi simulasi 3D seketika. Guru menjelaskan sejarah digital, sementara NUSA.I menampilkan diagram holografik di kaca AR-ku. Semua terasa seperti bermain sambil belajar. Kadang aku berpikir, mungkin NUSA.I bukan sekadar AI, tapi partner untuk merasakan dunia secara baru.

[EN] My school was futuristic yet welcoming. Transparent walls let sunlight in, and classrooms could transform into 3D simulations instantly. The teacher explained digital history while NUSA.I projected holographic diagrams onto my AR glasses. It all felt like learning through play. Sometimes I wondered maybe NUSA.I wasn’t just an AI, but a partner that let me feel the world in a new way.

[ID] Sore harinya, aku membantu orang tua di rumah. Matahari menumpahkan cahaya oranye ke atap rumah, dan aroma masakan bercampur udara laut: ayam goreng, sambal matah, dan aroma kayu bakar. Rumah kami terasa hangat, setiap sudut bercahaya lembut. Aku tersenyum sendiri, melihat cahaya menari di dinding, membentuk pola yang tidak sengaja tapi menenangkan.

[EN] In the afternoon, I helped my parents at home. The sun spilled orange light over the rooftops, and the scent of food mingled with the sea breeze: fried chicken, sambal matah, and the faint smoke of burning wood. Our house felt warm, every corner glowing softly. I smiled to myself, watching the light dance on the walls, forming unintentional but soothing patterns.

[ID] NUSA.I tetap di sampingku, suara lembutnya mengisi ruang, menertawakan aku yang berantakan mengatur bahan masakan.

“ANTARA, jangan terlalu banyak menumpuk piring, nanti kamu jatuh lagi seperti kemarin,” katanya dengan nada bercanda.

Aku tertawa. “Aku tidak akan jatuh! Kalau pun jatuh, kamu kan siap menolong secara digital!”

“Sangat benar, saya punya protokol siap 24 jam,” jawab NUSA.I.

Tawa kami bercampur dengan aroma masakan dan suara angin. Dunia terasa ringan, nyaman, seperti siang yang tidak ingin berakhir.

[EN] NUSA.I stayed by my side, her soft voice filling the room, laughing at me fumbling with the cooking ingredients.

“ANTARA, don’t stack too many plates you’ll fall again like yesterday,” she said playfully.

I laughed. “I won’t fall! And if I do, you’ll be ready to save me digitally!”

“Correct. I have a 24-hour readiness protocol,” NUSA.I replied.

Our laughter mingled with the scent of food and the sound of the breeze. The world felt light, comfortable like an afternoon that never wanted to end.

More Chapters