Cherreads

Chapter 7 - Chapter 2 Reboot

Alicia terbangun dari tidurnya karena hembusan angin malam yang dingin.

Tubuhnya menggigil pelan.

Kelopak matanya bergerak perlahan. Napasnya sudah mulai stabil, namun rasa sakit di kakinya sama sekali belum menghilang.

Hal pertama yang ia lihat hanyalah kegelapan.

Ia menggerakkan tubuh sedikit, lalu menunduk untuk memeriksa lukanya. Untungnya, darah sudah tidak lagi mengalir.

"…huff…"

Alicia mencoba bangkit.

Namun saat kakinya digerakkan—

nyut—

Rasa nyeri langsung menjalar.

Ia menggertakkan gigi, menahan sakit itu sekuat mungkin… sampai air mata keluar tanpa disadarinya.

Dengan tertatih, Alicia berjalan pincang menuju mulut goa.

Setibanya di sana, cahaya bulan menyinari hutan. Terang… jauh lebih terang dari yang ia bayangkan.

Ia menelan ludah.

Ia ingin keluar.

Namun—

bayangan keganasan serigala-serigala itu kembali muncul di benaknya.

Geraman mereka.

Tatapan mata dingin itu.

Cakar dan taring yang mengarah padanya.

Tubuh Alicia membeku.

deg—deg—

Keringat dingin mengalir di punggungnya.

Ia mundur satu langkah.

"…tidak…"

Alicia mengurungkan niatnya untuk keluar dari goa itu.

Ia kembali duduk, bersandar pada dinding batu yang dingin. Namun ingatan-ingatan itu terus menghantuinya, tak mau pergi.

Air matanya mengalir tanpa henti.

"Bu… Bu… Bu…"

"Aku takut… tolong aku…"

Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil terisak.

Kejadian mengerikan itu terus berputar di kepalanya, menekan dadanya hingga terasa sesak.

Dan di saat itulah—

tanpa sadar, sebuah sumpah terucap di dalam hatinya.

Ia tidak akan pernah…

pergi ke hutan lagi.

— Sudut Pandang Kalia Seraphine —

Beberapa jam sebelumnya, di toko kecil miliknya—

"Terima kasih telah berbelanja."

Kalia tersenyum sambil menyerahkan potion kepada pelanggan terakhir hari itu.

Pintu toko tertutup perlahan.

ting—

Suara lonceng kecil bergema singkat… lalu menghilang.

Dan saat itulah—

ia tersadar.

Alicia belum kembali.

Sejak siang tadi.

Kalia menoleh ke arah jam kecil di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan pukul tiga sore.

"…terlambat."

Dadanya terasa mengencang.

Wajahnya refleks menegang.

Tanpa berpikir panjang, ia menutup toko lebih awal. Tirai jendela diturunkannya, pintu dikunci rapat.

klik—

Kalia melangkah keluar, menatap ke arah hutan di kejauhan.

"Ya ampun, Alicia…" gumamnya pelan.

"Kamu membuat ibu khawatir saja."

Langkah kakinya otomatis mengarah ke sana.

Di tengah perjalanan menuju hutan, ia berpapasan dengan seorang warga kota.

"Oh— ah, Astaga… Nona Alchemist. Tokonya sudah tutup, ya? Tumben sekali," kata pria itu sambil tersenyum kikuk.

Kalia membalas dengan senyum tipis.

"Iya. Hari ini saya tutup lebih awal."

"E-eh, begitu…" ucapnya canggung.

"Ngomong-ngomong, Nona mau ke arah hutan, ya? Apa… apa stok tanaman obatnya habis?"

Kalia menggeleng pelan.

"Oh, tidak. Stok masih cukup untuk beberapa minggu."

Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan dengan nada setenang mungkin.

"Saya sedang mencari anak saya. Alicia. Tadi siang dia izin masuk hutan untuk mencari tanaman obat… tapi sampai sekarang belum juga kembali."

Ekspresi pria itu berubah.

"Oh… Alicia, ya," gumamnya lirih, matanya sedikit berpaling.

Lalu, seolah baru teringat sesuatu—

"Ah! I-iya… tadi siang saya memang sempat bertemu Alicia di pintu masuk hutan."

Dada Kalia berdebar, namun ia berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

"Begitu."

"Iya… tapi… aneh juga, ya," lanjutnya ragu.

"Biasanya Alicia paling lama cuma dua… atau tiga jam di hutan."

Ia mengernyit, tampak berpikir keras, lalu terdiam.

Kegelisahan di dada Kalia semakin menguat.

"Terima kasih sudah memberi tahu," ucapnya sambil membungkuk sopan.

"Kalau Anda melihat Alicia lagi, tolong suruh dia pulang duluan. Takutnya saya masih mencarinya."

"Ah— i-iya, tentu," jawabnya cepat.

Kalia kembali melangkah pergi.

Namun belum jauh—

"A-ah, tunggu sebentar, Nona!"

Ia berhenti dan menoleh.

Pria itu berlari kecil mendekat, wajahnya tampak gelisah.

"Ada apa?" tanya Kalia lembut.

Pria itu membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tangannya mengepal di samping tubuh.

"Anu… s-saya ragu harus bilang atau tidak…"

Perasaan tak enak langsung menjalar di dada Kalia, namun ia tetap menatap tenang.

"Tidak apa-apa. Silakan."

Ia menelan ludah.

"Be-beberapa waktu lalu… ada orang yang katanya bertemu monster."

"Monster yang seharusnya… berada di bagian terdalam hutan."

deg—

Jantung Kalia terasa jatuh, namun wajahnya tetap ia pertahankan agar tenang.

"Takutnya…"

"…Alicia bertemu dengan monster itu."

Kalia terdiam sejenak.

Lalu, dengan suara rendah namun tegas, ia menjawab—

"Terima kasih sudah mengatakannya."

Begitu kata-kata itu keluar, ia langsung berlari menuju hutan.

Langkahnya semakin cepat, dadanya terasa sesak. Kekhawatiran terus menekan pikirannya.

Alicia… jangan sampai terjadi apa-apa…

Namun ia segera menyadari satu hal—

berlari saja tidak akan cukup.

Kalia mengangkat tangannya.

Aether mengalir mengikuti kehendaknya.

"Fly."

Tubuhnya terangkat perlahan dari tanah.

Sesaat ia menyeimbangkan diri di udara, lalu—

whoosh—

Ia melesat kencang ke arah hutan.

Angin sore menerpa wajahnya, rambutnya berkibar liar. Pikirannya dipenuhi kegelisahan yang tak bisa ditepis.

Setibanya di tepi hutan, ia menurunkan ketinggian.

Sihir Fly dilepaskan, dan kakinya kembali menyentuh tanah dengan ringan.

Ia segera melangkah masuk ke dalam hutan.

"Alicia…!"

"Alicia… di mana kamu, Nak?"

Suaranya menggema di antara pepohonan.

Ia terus berjalan, menyingkirkan semak dengan tangan, matanya menyapu sekeliling tanpa henti.

"Alicia… kamu dengar suara ibu?"

"Alicia…!"

Tak ada jawaban.

Dadanya terasa semakin berat.

Lalu—

ia melihatnya.

Goresan di batang pohon.

Penanda jalan.

Kalia berhenti sejenak, menempelkan tangannya pada bekas goresan itu.

"…ini…"

Ia mengikuti satu demi satu tanda tersebut, langkahnya semakin cepat.

Namun tiba-tiba—

penandanya terputus.

Dan di tanah, tak jauh dari sana, tergeletak sebuah tas.

"…?"

Kalia mendekat, jantungnya berdetak kencang.

Saat ia mengangkat tas itu dan melihat isinya, matanya membelalak.

Di dalamnya terdapat bekal dan potion-potion yang ia siapkan sendiri.

"Bukankah ini… tas Alicia?"

Tangannya sedikit gemetar saat menggenggamnya.

Ia menoleh ke sekeliling, mencari jejak lain—bekas langkah, ranting patah, tanda perkelahian.

Namun tidak ada.

Tidak satu pun.

"…Alicia…"

Dadanya terasa nyeri.

Ia menggenggam tas itu erat, lalu kembali melangkah lebih dalam ke hutan, menolak berhenti.

Ibu pasti menemukanmu.

— Sudut Pandang Alicia Seraphine —

Tubuh Alicia sedikit menggigil karena angin malam yang masuk melalui mulut goa.

Entah mengapa, angin malam itu terasa lebih dingin dari seharusnya—seakan musim dingin belum benar-benar pergi, meski ia tahu musim itu telah berlalu.

Ia memeluk tubuhnya sendiri.

krrkkk…

Suara dari perutnya terdengar, menggema pelan di dalam goa yang sunyi.

Refleks, Alicia menempelkan telapak tangan ke perutnya.

"A-aku lapar…" gumamnya lirih sambil mengusapnya perlahan.

Perutnya kosong.

Tenggorokannya terasa kering.

Wajahnya pasti sudah pucat pasi.

Mungkin karena sejak siang tadi ia belum makan… apalagi minum.

glek…

Ia menelan ludah.

Tenggorokannya terasa perih, seolah tergores dari dalam.

Alicia memejamkan mata sejenak.

Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Ia ingin keluar dari goa ini.

Ia ingin pulang ke rumah.

Namun bayangan kejadian siang tadi kembali muncul di benaknya—lolongan itu, tatapan mata serigala, rasa sakit di kakinya.

Tubuhnya menegang.

Ia tidak bisa berpikir jernih.

Yang ia inginkan sekarang hanya satu—

bertahan hidup… dan keluar dari hutan ini.

Alicia menarik napas dalam-dalam.

Tidak ada pilihan lain.

Dengan tekad yang tersisa, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari goa.

Ia berdiri perlahan.

Saat kakinya digerakkan—

nyut—

Ia meringis, menahan rasa sakit, lalu mulai berjalan tertatih dengan kaki pincang.

Setibanya di luar goa, ia berhenti sejenak.

Ia menoleh ke kanan… ke kiri… memastikan keadaan sekitar.

Sunyi.

Tidak ada geraman.

Tidak ada pergerakan mencurigakan.

Namun ia tetap waspada.

Hutan tempat ia berada terbagi menjadi dua wilayah—wilayah luar dan wilayah dalam.

Wilayah luar dianggap relatif aman. Monster jarang muncul di sana.

Sedangkan wilayah dalam—

tempat para monster tinggal.

Meski di sana tumbuh banyak tanaman obat, risikonya jauh lebih besar.

Alicia mengamati sekeliling dengan saksama.

Pepohonan lebih rapat.

Cahaya bulan lebih sulit menembus.

Dadanya terasa berat.

"…sepertinya…" gumamnya pelan.

"…aku masuk ke hutan bagian dalam."

Kini semuanya terasa masuk akal.

"Pantas saja tadi siang aku menemukan tanaman obat berlimpah…"

Alicia mengepalkan tangannya pelan.

Jika ia ingin bertahan, ia harus menemukan tas bawaannya.

Di dalamnya ada makanan.

Dan… potion penyembuh.

Ia menelan ludah, lalu melangkah perlahan ke arah tempat ia diserang serigala tadi.

Meski kakinya masih terasa sakit, ia memaksakan diri untuk berjalan.

Karena sekarang—

prioritasnya hanya satu.

Mencari tas itu.

More Chapters