Cherreads

Chapter 20 - BAB 20 — Malam Kehancuran

Angin malam bergerak pelan di antara pohon-pohon bambu, menyeret aroma tanah basah dan suara jangkrik yang memecah kesunyian. Desa itu biasanya damai, tapi malam itu… ada sesuatu yang ganjil.

Sesuatu yang salah.

Sesuatu yang gelap.

Di sebuah rumah kecil di pinggir kebun karet, adik perempuan Surya berusaha menahan pintu kamarnya yang didorong keras dari luar. Tangannya gemetar, napasnya tersengal.

Di luar, suara cekikikan mabuk terdengar.

"Bukakno pintumu… ayo ndhuk… sedetik wae…"

(Buka pintumu… ayo dek… sebentar saja…)

"Wis, ojo ndredheg ngono,"

(Sudah, jangan gemetar begitu.)

Tangan-tangan kotor mereka memaksa masuk. Mereka adalah pemuda-pemuda desa yang selama ini menganggap Surya lelaki culun yang suka bercanda, mudah disindir, dan tidak punya keberanian apa pun.

Mereka salah.

Salah besar.

Salah yang akan menutup sejarah mereka malam itu juga.

Ketika pintu berhasil didobrak, mereka masuk dengan wajah penuh nafsu dan tawa busuk—tawa yang seketika membeku ketika suara langkah kaki pelan terdengar dari arah ruang tengah.

Tok.

Tok.

Tok.

Langkah yang tidak tergesa.

Tidak panik.

Tidak marah.

Hanya… tenang.

Terlalu tenang.

Hingga akhirnya sosok itu muncul dari balik gelap.

Surya.

Tapi bukan Surya yang mereka kenal.

Bukan Surya yang humoris, yang periang, yang suka menghibur anak-anak kecil, yang selalu tersenyum lebar bila diajak ngobrol.

Yang ini berbeda.

Wajah Surya malam itu tidak menampilkan emosi.

Bukan marah.

Bukan shock.

Bukan sedih.

Hanya datar.

Mengerikan karena terlalu tenang.

Ia berdiri di tengah lorong rumah yang sempit, tubuhnya tegak seperti bayangan gelap yang muncul dari dunia lain.

Lalu suara itu keluar.

Pelan… landai… namun menggema seperti suara dari perut bumi.

"Sopo… sing wani nyentuh adikku?"

(Siapa… yang berani menyentuh adikku?)

Salah satu pemuda mencoba bicara, tapi suaranya pecah.

"S…Sur…ya… ini cuma—"

Sebelum kalimat itu selesai, Surya sudah memegang lehernya.

Tidak ada yang melihat jelas kapan Surya bergerak.

Tidak ada angin.

Tidak ada bayangan.

Tiba-tiba saja pemuda itu sudah tergantung beberapa sentimeter di atas tanah.

Lalu kraakk!

Lehernya patah seperti ranting kering.

Yang lain menjerit, mundur, terjatuh, mencoba kabur melewati jendela. Surya menyeret satu, melempar yang lain ke dinding, menghantamkan kepala mereka ke lantai berkali-kali.

Ruang itu penuh tawa yang berubah jadi jeritan.

Jeritan yang berubah jadi gurgelan.

Dan gurgelan yang akhirnya berubah jadi… sunyi.

Hanya suara Surya yang tersisa.

Pelan… bergetar… seperti doa kelam:

"Kowe nggak bakal ngganggu keluargaku maneh."

(Kalian tidak akan mengganggu keluargaku lagi.)

Teriakan pembantaian itu terdengar oleh warga.

Lampu-lampu rumah mulai menyala.

Para orang tua dari pemuda-pemuda itu berlari ke rumah Surya.

Mereka terpaku melihat darah di lantai.

Mayat-mayat anak mereka.

Dan Surya berdiri di tengah ruangan, memegang keris tua yang dipajang selama ini—keris warisan Mbah Sarpin.

Salah satu ayah menjerit,

"Kenapa, Surya?! Kenapa harus sekejam iki?!"

Surya mengangkat wajah perlahan.

Tidak marah.

Tidak berteriak.

Tidak menangis.

Hanya… kecewa.

"Aku wis ninggalno uripku sing kelam,"

(Aku sudah meninggalkan hidupku yang kelam.)

"Aku wes dadi wong sing ceria, lucu, lan sederhana… mergo aku mung pengen urip tenang karo ibu lan adikku."

(Aku sudah menjadi orang yang ceria, lucu, sederhana… karena aku hanya ingin hidup tenang bersama ibu dan adikku.)

Warga menelan ludah.

Surya melangkah maju.

"Tapi kowe kabeh… nganggep aku lemah."

(Tapi kalian semua… menganggap aku lemah.)

Langkah lagi.

"Kowe pikir aku bisa dipermalukan?"

(Kalian pikir aku bisa dipermalukan?)

Langkah ketiga—mata Surya berubah menjadi sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki manusia.

"Karo pikiran rusak anak-anakmu, karo sikapmu sing meremehkan kulawargaku…"

(Dengan pikiran busuk anak-anak kalian, dengan sikap kalian meremehkan keluargaku…)

"kowe bakal entuk balasan… luwih gedhe ketimbang sing iso mbayangke."

(kalian akan mendapat balasan… lebih besar dari apa pun yang bisa kalian bayangkan.)

Dan Surya pun mulai membantai para orang tua itu.

Tidak ada perlawanan.

Tidak ada waktu untuk menjerit.

Tidak ada ruang untuk lari.

Hanya hentakan mematikan yang diwarnai tatapan mata yang berubah gelap… terlalu gelap untuk manusia.

Setelah semuanya mati, Surya mengambil ponselnya.

Ponsel yang selama ini tidak pernah disentuhnya sejak keluar dari dunia kelam.

Ia menekan satu nama.

"Lek, aku butuh bantuanmu."

(Bang, aku butuh bantuanmu.)

"Jumlah besar?" tanya suara di telepon.

"Semua."

Suara Surya tenang.

"Datang ke desa ini. Habisi semuanya."

Di ujung lain telepon terdengar tawa kecil—tawa orang yang tahu Surya bukan orang sembarangan.

"Perintahmu, Bos."

Dalam waktu kurang dari satu jam…

puluhan mobil hitam memasuki desa.

Tanpa ampun.

Tanpa suara peringatan.

Rumah-rumah dibakar.

Warga yang mencoba lari ditembak mati.

Jeritan memenuhi malam seperti suara hewan yang disembelih.

Sampai akhirnya…

tidak ada yang tersisa.

Desa itu hilang dari peta.

Hanya abu.

Hanya bara.

Hanya sunyi.

Setelah semua membara, Surya keluar dari rumah sambil menggendong adiknya. Ibunya berjalan tertatih di sampingnya, wajahnya masih pucat karena shock.

Salah satu anak buahnya membuka pintu mobil hitam.

"Semua sudah siap, Bos."

Surya mengangguk.

Ia memeluk adiknya pelan.

"Nduk… wes. Kabeh wes rampung."

(Dek… sudah. Semua sudah selesai.)

Mobil berjalan meninggalkan desa yang menjadi neraka malam itu.

Dalam gelap, Surya memejamkan mata.

Ia kalah sebagai manusia…

tapi menang sebagai iblis yang kembali hidup demi melindungi keluarganya.

Besok pagi, mereka akan membeli vila di luar kota.

Hidup baru.

Nama baru.

Senyum baru.

Tapi sorot mata Surya…

…akan tetap membawa kegelapan itu.

Kegelapan yang tidak pernah mati.

 

 

 

 

More Chapters