Akai yang sedang melakukkan push up di halaman depan rumahnya berhenti tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap teriakan elf pengintaian yang penuh ketakutan dari kejauhan. Dia berdiri dengan cepat, keringat membasahi tubuhnya yang berotot dan membuat baju tipisnya basah. "Kapan mereka datang dan berapa jumlahnya?" tanyanya dengan nada tegas yang tidak bisa disangkal, matanya sudah mulai menyala dengan waspada.
"Mereka akan tiba 3 jam lagi, tuan. Jumlah mereka 100 orang dan 1 panglima!" jawab elf pengintaian yang berlari ke depannya, wajahnya pucat karena takut, matanya berkaca-kaca seperti mau menangis.
Tanpa berkata apa-apa, Akai berjalan cepat menghampiri bengkel Jack yang terletak di pinggir desa. Jack masih sibuk menyolder bagian akhir pistol api yang dibuatnya, tangan yang terbiasa dengan senjata bekerja dengan cepat. "Jack, perajurit kerajaan akan datang. Apa yang engkau akan lakukan?"
Jack mengangkat kepala, matanya yang tenang memandang Akai. Dia mengusap tangan yang berlumuran minyak dan besi ke celana. "Kita menunggu mereka. Tapi persiapan ku belum siap—hanya satu pistol api yang jadi, dan kerambit mu juga baru selesai. Belum sempurna, tapi harus cukup untuk menghadapi mereka."
"Tidak masalah. Kita hadapi saja."
Setelah 3 jam yang terasa seperti abadi—dimana setiap detik terasa sepanjang abad—langkah-langkah berat perajurit kerajaan terdengar dari kejauhan. Bunyi sepatu besi menabrak tanah yang kering membuat bumi sedikit bergoyang, dan bayangan mereka mulai muncul di bukit. Akai berdiri sendirian di depan gerbang desa, memegang kerambit yang baru dibuat di tangan kanannya. Sinar matahari sore menyinari wajahnya yang serius, rambutnya terantuk oleh angin sepoi-sepoi, dan mata setengah merah setengah biru menyala dengan keganasan yang siap meledak.
Seorang pria dengan baju berwarna emas yang mengilap dan topi perang berdiri di depan kelompok—panglima mereka. Dia melihat Akai dengan tatapan sombong, hidungnya mengangkat tinggi. "Manusia! Mengapa kau disini? Apakah kau main sama para elf cantik sendiri? Mengapa kau tidak memberitahu kita tentang tanah ini yang kaya akan sumber daya?"
Tanpa menjawab, Akai melancarkan serangan dengan cepat secepat kilat. Dia melompat ke depan seperti kucing yang menangkap burung, menggerakkan kerambitnya dengan presisi yang sempurna—tepat ke leher panglima. Srakk! Darah memancar keluar seperti pancuran, dan panglima terjatuh mati seketika, tubuhnya tergeletak tak berdaya di tanah.
Perajurit lainnya sontak memegang gagang pedang mereka, mata penuh kebencian dan kemarahan. "BUNUH DIA! BUNUH MANUSIA YANG MEMBUNUH PANGLIMA KITA!"
Akai tidak takut, malah tersenyum sejenak dengan wajah yang dingin. Dia maju mengadapi mereka satu per satu. Kelincahannya yang luar biasa membuatnya menghindari serangan pedang dengan mudah—hanya bergerak sedikit, menyilang di antara lawan, dan setiap gerakan kerambitnya selalu tepat. Menyayat leher, menyilang dada, membunuh tanpa ragu. Dalam sekejap, sudah 8 orang yang terjatuh di depannya.
"Dia gila! Dia bukan manusia!" teriak salah satu perajurit, suaranya gemetar karena takut. Tapi Akai terus maju, seperti badai yang tak terhentikan, membunuh satu demi satu. Sampai akhirnya, dia sudah membunuh 18 orang—tanah di depan desa dipenuhi darah dan mayat, bau darah menyebar di udara yang sejuk sore. Perajurit lainnya melihat kegilaan Akai, mulai merasa takut dan memilih untuk mundur, berlari ke arah jalan pulang dengan kecepatan penuh.
Namun Jack sudah menunggu mereka di sana, berdiri tegak di tengah jalan dengan pistol api di tangan kanannya. Dia melihat kelompok perajurit yang kabur dengan mata yang tenang. "Hei, menyingkirkan lah atau kau akan mati!"
Perajurit pun mendekati Jack dengan pedang terangkat, berpikir dia lebih mudah dihadapi daripada Akai yang seperti iblis. Tapi Jack tidak ragu—dia menunduk sedikit, menyeimbangkan pistol api, dan menembak tepat ke kepala perajurit pertama. Tung! Bunyi tembakan yang keras menggema di hutan, dan orang itu terjatuh mati seketika, tubuhnya terguling ke sisi jalan.
Mereka melihat itu dengan panik, mata membelok antara Jack dan benda aneh di tangannya. "Bagaimana bisa?! Sedangkan dia gak memegang pedang, cuma memegang benda aneh itu!"
"Sial, kita harus gimna?!"
Mereka melihat Akai yang masih membantai rekan mereka di kejauhan, dan rasa takut mereka menjadi lebih besar. Satu perajurit terjatuh di depan Akai, tangan memegang kaki yang terluka. "Mohon ampuni aku, tuan... aku cuma mematuhi perintah kerajaan! Jangan membunuh ku!"
Akai melihatnya dengan mata yang dingin seperti es, tidak ada rasa belas kasihan di dalamnya. Dia menusuk kerambitnya tepat ke jantungnya. Srakk! "Sial, dia lebih iblis dari makhluk apa pun di dunia ini!" kata salah satu perajurit. "Kita hadapi orang ini saja, jangan hadapi iblis itu!"
Mereka bergerak ke arah Jack. Karena Jack dulunya tentara pasukan khusus di dunia lama, naluri perangnya sangat kuat. Dia mengganti pistol api dengan bilah pendek yang dibuat dari besi, bergerak dengan cepat dan menghabisi mereka satu demi satu. Sampai akhirnya, hanya satu perajurit yang tersisa—dia terkulai di tanah, tangan mengangkat ke atas, wajahnya penuh ketakutan. "Maafkan aku... aku punya istri dan anak yang harus aku rawat... tolong maafkan aku..."
Jack berhenti, tangan yang memegang bilah mulai ragu. Dia melihat orang itu dengan mata yang penuh keraguan—hatinya ingin membunuh untuk melindungi desa, tapi nalurinya tidak mengizinkan.
Sementara itu, Akai sudah menghabisi semua lawannya di depan desa. Dia melihat perajurit yang meminta ampun kepada Jack, lalu berlari ke arah sana dengan kecepatan tinggi. Dia mengangkat kerambitnya ke atas, siap menusuk kepala orang itu. Tapi sebelum kerambitnya mendarat, Jack menahan tangannya dengan kuat—cukup kuat untuk membuat Akai berhenti.
"Sudah, Akai. Dia sudah menyerah, dan dia masih mempunyai istri dan anak yang harus dia rawat."
Akai mencoba melepaskan tangannya dari Jack, tubuhnya bergoncang karena kemarahan. "Mengapa kau peduli?! Kita datang kesini untuk melindungi para elf! Jika kau membiarkan dia kabur, dia akan melaporkan kejadian ke kerajaan dan pasti mereka membawa lebih banyak orang lagi nanti—lebih kuat, lebih banyak!"
"Diam, Akai. Aku sudah bilang—dia sudah tidak ada rasa ingin melawan, dan dia punya keluarga." Jack melihatnya dengan mata yang tegas, suaranya tetap tenang tapi tegas. "Aku juga mempunyai istri dan anak di dunia lama. Aku tidak akan membunuh orang yang mempunyai keluarga—itu sama saja kaya menciptakan balas dendam bodoh yang tidak akan berakhir."
"Kau yang bodoh!" teriak Akai, matanya menyala dengan kemarahan yang lebih besar. "Kita bukan di dunia kita lagi, tapi di dunia lain! Disini kita harus menghapus rasa kasihan mu! di saat Dia mau mati—dia berkata tentang keluarga, tapi apa yang mereka lakukan kepada elf? Mereka membunuh elf pria, memperkosa elf wanita—apakah mereka memikirkan keluarga para elf yang kehilangan orang tersayang? Hapus rasa kasihan bodoh mu! Bunuh saja mereka! Mereka tidak ada rasa kemanusiaan—hanya membunuh dan memperkosa demi kesenangan pribadi!"
Dia mendekati Jack dengan tatapan yang mengancam, wajahnya penuh kemarahan. "Jadi lain kali, kalo kau menghentikan aku... aku akan menganggap mu sebagai musuh. Mengerti? Ini peringatan pertama dan terakhir untuk mu."
Jack melihat mata Akai yang penuh kebencian, lalu melepaskan tangannya. Perajurit yang tersisa melihat kesempatan, segera berdiri dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak berusaha melihat ke belakang. Akai melihatnya pergi dengan mata yang dingin, tidak berusaha mengejar lagi. Tanah di sekitar mereka dipenuhi mayat—hanya dia dan Jack yang masih berdiri, dengan jarak sedikit yang memisahkan keduanya, suasana menjadi sunyi setelah keganasan yang hebat.
Para penduduk desa elf keluar dari tempat persembunyian mereka—gua-gua dan semak tebal—melihat kejadian itu hanya terdiam, mata penuh kaget dan tidak percaya. Beberapa elf wanita menangis melihat mayat perajurit, ingat-ingat trauma masa lalu ketika mereka diserang. Akai tidak peduli dengan mereka—dia berjalan meninggalkan tempat itu, menuju kolam air panas yang berada di ujung desa, di tengah semak semak yang lebat. Dia melepas baju nya dan merendam badan di air yang hangat, mengizinkan panas air membersihkan darah dari tubuhnya dan meredakan kelelahan yang luar biasa.
Tiba-tiba, dia mendekati langkah-langkah yang lemah di belakangnya. Dia melihat ke belakang dan melihat Dori yang datang menghampiri, wajahnya malu dan muka memerah sampai ke telinga runcingnya. Dia menutupi mata dengan tangan saat melihat Akai telanjang. "Maaf kan ku... s-saya tidak sengaja melihat..."
"Mengapa kau datang kesini?" tanya Akai, tidak merasa malu sama sekali, malah tersenyum riang.
Sambil membalikan badan agar tidak melihat Akai, Dori jawab dengan suara yang lemah seperti bisikan: "Aku melihat kau bertengkar dengan Jack tadi... jadi aku menyusul mu... khawatir apa-apa terjadi..."
"Oh, kau menghawatirkan aku yah, Dori?" Akai tertawa ringan, suaranya riang membuat suasana lebih hangat.
"Tidak! Aku tidak menghawatirkan kan mu!" jawab Dori cepat, muka nya semakin memerah, kepalanya turun ke bawah sampai menyentuh dada.
"Iya iya, aku tau ko." Akai tersenyum lagi, merendam badan di air yang hangat, merasakan sedikit ketenangan setelah semua keganasan tadi.
Setelah merendam dan merasa lebih segar, Akai pergi bersama Dori kembali ke desa. Sesampainya di sana, dia melihat Jack yang masih berada di bengkelnya, sibuk membersihkan alat-alat besi. Akai berjalan mendekatinya, wajahnya terlihat lebih tenang dari tadi.
"Maaf untuk tadi, Jack. Aku terlalu emosi dan berkata hal-hal yang tidak pantas."
Jack berhenti bekerja, melihat Akai dengan mata yang tenang. Dia tersenyum sedikit. "Tidak apa-apa. Kita cuma punya pandangan yang berbeda. Yang penting, kita berhasil melindungi desa."
Akai mengangguk, lalu menunjuk ke arah sudut bengkel yang kosong. "Eh, apakah kau bisa membuat kuali untuk aku? Ingin memasak makanan—aku juga ahli dalam hal memasak, lho. Di dunia lama, aku sering memasak untuk diriku sendiri ketika sendirian."
Jack tertawa ringan. "Aku cuma bisa membuat senjata api dan bilah tajam. Kalo alat dapur, aku tidak bisa—tidak punya keahlian dan alat yang pas untuk membuatnya rapi."
Tiba-tiba Dori yang berdiri di belakang Akai berbicara, suaranya sedikit lebih nyaring: "Bagaimana jika suku dwarf di goa bawa kaki gunung Mitomi? Ku dengar mereka bisa membuat apa saja—mulai dari senjata yang kuat sampai alat dapur yang bagus. Jika kau bertemu dengan mereka, mungkin mereka mau membuat barang yang kau inginkan."
Mendengar itu, mata Akai menyala dengan semangat baru. Setelah semua keganasan tadi, dia merindukan sesuatu yang baru—suatu petualangan yang bisa membuatnya lupa tentang masa lalu. "Maka dari itu, aku akan pergi mencari suku dwarf itu."
Besok paginya, matahari baru terbit ketika Akai sudah menyiapkan barang-barang dibutuhkan. Dia memegang kerambit yang selalu dia bawa, dan membungkus kain tipis untuk berjaga jika ada yang terluka. Dia melihat Dori yang sudah menunggu di depan rumahnya. "Apakah kau sudah siap, Dori?"
Dori mengangguk cepat, wajahnya penuh semangat meskipun sedikit takut. Akai dan Dori pun memulai perjalanan mereka menuju gunung Mitomi, jalan yang dipenuhi semak tebal dan tanaman liar.
Setelah berjalan selama beberapa jam, Dori tiba-tiba berhenti, telinga runcingnya bergerak mendengar suara. "Akai, ada goblin di depan kita—berjarak sekitar 50 meter dari sini!"
"Jumlah mereka berapa?" tanya Akai dengan suara rendah, mulai bergerak pelan-pelan menyembunyikan diri di balik pohon.
"Jumlah mereka 10!" jawab Dori dengan suara yang sama rendah.
Akai pergi melihat goblin dengan langkah-langkah yang sangat pelan, tidak membuat bunyi sedikit pun. Dia mengeliminasi mereka satu per satu—masing-masing goblin terjatuh tanpa bisa bersuara, kerambitnya selalu tepat menyentuh titik vital. Sampai akhirnya, hanya 1 goblin yang tersisa. Dia mencoba mencari Akai dengan mata yang gelap, bingung mengapa rekan-rekannya menghilang.
Akai dengan gerakan lincah berpindah tempat tanpa suara, membuatnya sulit ditemukan. Dori melihat kesempatan, mengambil batu kecil dari tanah dan melemparkannya ke sebelah goblin. Goblin yang mengira ada orang di sana langsung lompat dan memukul dengan tongkatnya—namun tidak ada orang sama sekali. Saat itu juga, Akai melompat dari belakangnya dan mengeliminasi goblin terakhir dengan cepat.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Akai sambil menawarkan tangannya ke Dori untuk menolongnya berdiri.
"Yah, aku baik-baik saja." Dori mengambil tangannya dengan malu, muka sedikit memerah.
Setelah 2 hari berjalan dengan penuh kesabaran—melalui jalan yang licin, hutan yang lebat, dan sungai yang harus dilintasi—Akai dan Dori akhirnya sampai di depan goa yang besar, tempat suku dwarf tinggal. Cahaya api dari dalam goa menyinari jalan masuk, dan bunyi pukulan besi terdengar dengan jelas.
Tiba-tiba, seorang dwarf dengan tubuh yang kekar dan rambut pirang muncul dari dalam goa. Dia langsung menyodorkan tombaknya ke arah Akai, mata yang kasar penuh waspada. "Henti! Apa maksudmu datang ke tempat kita, manusia?!"
Akai tidak ingin hubungan dengan dwarf buruk dari awal. Dia mengangkat tangan kedua untuk menunjukkan bahwa dia tidak berniat menyerang. "Santai, aku tidak jahat ko. Aku kesini ingin meminta tolong sama kalian."
