Cherreads

Chapter 14 - PART 14 : Kelembutan orang tua.

Akhir dari konflik yang menegang diantara para guru dan Ace, diakhiri dengan pernyataan di kertas pernyataan...

Bahwa Ace sudah dikeluarkan dari sekolah karena alasan kekerasan kepada guru.

Sore muncul membawa suasana yang sulit dimengerti. Ace tengah merenung di ruang tamu setelah kejadian di sekolahnya. Terdengar suara televisi yang bergema diseluruh ruangan yang sunyi itu.

Ia duduk, menyandarkan kepalanya, melihat televisi itu sambil bertanya-tanya, "Mengapa aku bereaksi sebegitunya di ruang guru..."

"SIALAN!" ia berdiri, membanting bantal disebelahnya, wajahnya penuh penyesalan dan kekesalannya.

Tiba-tiba. "Ding...Dong"

Ia bergumam kesal ke arah pintu itu. "Astaga... Iya-iya aku akan kesana..."

Sambil berjalan ke arah pintu. "Menganggu saja."

Perlahan Ace membuka itu, "Ada apa ya-"

Saat pintu terbuka lebar ia melihat seorang petugas pria tersenyum dengan lencana organisasi bantuan kenegaraan.

Ia mengatakan. "Ace, ini program bantuan dari pemerintah lagi, pasokan untuk sebulan ya..." Petugas itu membawa kotak lima kotak kardus agak besar, serta amplop berisi uang tunai.

Mata Ace berbinar, mulutnya terus melangap sebelum berbicara lagi. "Wahhh, iya...."

Tangannya meraih amplop yang diberikan oleh petugas itu. "Nah ini... Tolong gunakan secara hemat."

"Btw, kardusnya kamu yang masukin sendiri ya, saya agak lagi sakit punggung." Tersenyum... Lalu ia berlari sambil berkata. "Sampai jumpaaa!~~~"

Ace terdian di depan pintu saat melihatnya lari, ia berkata dengan lembut. "Teri... Terima kasih..."

. . .

"APAAN INI KOK BERAT SIH ASTAGA! " Ace penuh keringat, baru saja ia mengangkat kardus terakhir yang diberikan oleh petugas itu ke dalam rumahnya.

Nafasnta terengah-engah, mengelapkan dahinya setelah melihat pekerjaannya sudah selesai.

Namun, dari pada makan terlebih dahulu. Ia memutuskan untuk melakukan olahraga berat di rumahnya.

"Aku pengen gedein badan... Kayanya aku harus olahraga lagi... Sudah lama." Sembari melihat banyaknya pasokan makanan, membuat dirinya termotivasi melakukan hal yang selalu ia lakukan dulu.

Saat berjuang di tim basket sekolahnya, demi masuk tim inti.

Tapi tidak berjalan sesuai harapannya, anehnya ia tetap maju, memaafkan harapannya yang pupus.

Lalu... Ia pergi ke kamarnya, memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa melupakan kejadian di sekolahnya.

Ia yakin, ia percaya, semua ada maknanya — ada balasannya.

. . .

Saat waktu menunjukkan pukul 7 malam. Suasana yang panas penuh keringat, menyebar luas didalam kamar Ace.

"Sembilan tujuh... Arghh... Sembilannn... Delapann!" Ace melakukan push up menggunakan tas yang sangat berat.

"Brug!" Ia sudah tidak kuat lagi, langsung duduk, dan menyimpan tasnya. Ia menghela nafas pelan-pelan, menutup matanya.

"Ding-Dong!!"

"Ding-Dong!!"

Dalam diamnya setelah olahraga intense, ia tampak kesal lagi saat mendengarkan suara bel yang tidak sabar. Rasanya ingin melempar bantal kepada orang itu.

Ia langsung turun dari kamarnya walau masih bersimbah keringat. "Iya-iya bentar aku kesana." Nadanya rendah, namun sedikit kesal.

Saat mulai membuka pintu itu, ia melihat hari yang sudah gelap, didepan matanya ia melihat tubuh tinggi dan wajah yang tidak asing.

"Oh Reiko... Ada apa?" Ia sedikit memalingkan wajahnya, perasaannya masih sangat tidak karuan untuk bertemu seseorang.

Lantas Reiko menatap Ace tajam dengan permen di mulutnya.

Tiba-tiba, Reiko sedikit menyampingkan posisinya, yang dapat memperlihatkan seseorang dibalik kegelapan.

Ace tidak percaya dengan yang ia lihat, membeku, mulutnya serasa dikunci oleh stang — matanya berbinar dengan sedikit air turun.

"Nenek... Nenekk Nara!!!" Ia berlari, menyambut nenek Nara yang sudah sangat tua, rambutnya yang putih menyebar dimana mana. Apalagi keriputnya.

Ace memeluk nenek Nara. Ia terharu, "Apa nenek sudah sembuh?" Ucap Ace, kesedihan sebelumnya terasa hilang saat melihat nenek Nara.

Nenek Nara memeluk kembali. Namun tidak kuat, justru pelukannya lemah, tapi kasih sayang dan kerinduannya mengalahkan kekuatan fisik.

"Astaga... Ace kamu sudah besar dan mandiri ya." Suaranya bergetar rapuh, berbata-bata dan serak.

Reiko menyaksikan pertemuan yang mengharukan, ia bergumam. "Akhirnya." Tersenyum penuh kelegaan, sambil memegang pintu.

. . .

Berselang waktu setelah pertemuan yang mengharukan itu.

Kini, mereka berada di ruang meja makan dengan perbincangan hangat penuh senyuman yang melupakan segalanya.

Mereka mulai menyeruput makanan yang dimasak oleh nenek Nara.

Seperti soup miso, soup kari, dan daging sapi yang sudah sangat harum menggelegar di seluruh ruangan yang menusuk masuk ke perut mereka yang kosong.

Ace dan Reiko sudah tidak sabar untuk memakan ini semua, terlihat sangat lezat. "Selamat makan!"

Nenek Nara hanya bisa tersenyum. Betapa lahapnya mereka makan, seperti melihat sosok kedua anaknya yang entah kemana mereka pergi.

Ditengah Ace memakan itu, ia berhenti, mengatakan sesuatu dengan perasaan yang bersalah.

"Nek, maafkan aku... Aku sudah tidak pernah menjenguk nenek lagi semenjak tiga tahun lalu..."

Nenek Nara tertawa sedikit. "Hahaha... Gapapa, nenek bangga malah. Kamu jadi bisa hidup sendiri."

"Nak Ace. Kau tahu? Orang yang terbiasa sendiri, tapi mereka pemaaf."

"Mereka justru orang yang benar-benar bisa memegang atas kendali diri dan orang lain secara tidak langsung." Suaranya serak, namun penuh cinta."

Ace dan Reiko berhenti makan, mereka fokus mendengarkan ucapan nenek Nara, entah mengapa.

Reiko berbicara setelahnya. "Tapi aku dengar-dengar. Ace... Kamu dikeluarkan dari sekolah ya?" Suaranya berat dan fokus kepada Ace, diiringi suara sumpit yang berdencit.

Seketika wajah Ace terdiam saat mendengarkannya, memalingkan wajahnya, penuh kesal karena tidak menginginkan untuk mengingatnya kembali kejadian di sekolah.

Tapi, nenek Nara dia menghela nafas, tersenyum seolah dia tahu cara melembutkan Ace. Sebelum kembali berbicara dengan tegas, juga lembut. "Ace."

Ace menjawab dengan datar."Kenapa?"

Lengannya mendekat, mengelus perlahan jari jemari Ace yang keras.

"Nenek tidak tahu masalah apa yang kanu hadapi, dan apa yang kamu rasakan."

"Ingatlah satu hal ini... Terus lah pegang kebenarannya, walau itu..."

"Dapat membunuh dirimu sendiri."

Semakin dalam nenek mengelus jemarinya Ace yang mulai melunak pada sentuhan yang tidak lama dirasakan.

"Tancapkan dalam jiwa mu yang muda ini. Jangan takut membawa arus dengan kebajikan." Suaranya yang kecil dan serak, mulai meninggi.

"Kebenaran tidak akan menolong siapapun, tapi siapapun bisa menolong kebenaran itu kepada jalan yang lurus."

Ace bergetat mendengar nasihat itu, ia merasakan jiwanya yang hampa sedang di obati oleh empati yang besar.

Ia berdiri, "Tapi nek-" Seketika dipotong.

"Dengarkan orang tua saat sedang berbicara." Ucapannya tegas, tajam, bergetar di ruang makan.

Ace terdiam, tau seharusnya tidak melawan, maka ia memutuskan untuk duduk kembali, merasa kesal dan bingung.

Ia memalingkan wajahnya kebawah, matanya penuh ketidakpercayaan diri.

Nenek Nara tersenyum kepada Reiko, menarik nafas pelan sebelum kembali berbicara sedikit kepada Ace yang masih kesal kepadanya

"Nenek yakin... Kamu adalah orang yang akan membantu setiap nyawa sekecil apapun..." Suaranya semakin rendah, lembut, penuh keyakinan.

Tatapanya... Penuh kasih sayang dan kekhawatirnya yang besar.

Anehnya, perkataan itu seakan ajaib, membuat bulu kuduk Ace merinding, wajahnya yang keras, kini penuh kerentanan dan rasa yang sulit dimengerti.

Ditengah percakapan itu, Reiko mengencangkan jari yang sedang memegang sumpit itu. Teringat sesuatu saat mendengarkan ucapan dari nenek Nara

. . .

Namun, dibalik pintu luar. Terlihat seorang pria yang lumayan tinggi. Geriknya sangat mencurigakan , ia menyilangkan lengannya.

Tersenyum di balik kegelapan, giginya yang tajam dan terik.

Anehnya, terlihat lambang naga hitam merah nyentrik, seperti tanda yang ada di punggung Elevanour.

Sebelum, pria ini menghilang sekejap bersamaan dengan angin yang berhembus tenang.

Ending. 🙏

More Chapters