Darah masih mengalir di jalanan kota, aroma besi memenuhi udara, dan kepanikan perlahan mulai mereda. Kael berdiri di aula kerajaan, tenang namun matanya menatap setiap sudut ruangan seolah menimbang setiap gerakan yang terjadi. Utusan kerajaan satu per satu berdatangan, wajah mereka pucat, suara mereka bergetar saat menyadari kehancuran yang telah terjadi di kota.
Para bangsawan, dengan kepala menunduk, maju dan satu per satu meminta maaf. "Yang Mulia… Sang Main Character… kami minta maaf atas kekacauan ini. Kami terlalu fokus padamu sehingga mengabaikan keselamatan warga," kata salah seorang bangsawan dengan nada terbata-bata.
Kael tetap diam sejenak, menatap mereka tanpa emosi yang berlebihan. Lalu ia berbicara, suara lembut namun tegas, menembus hening aula. "Aku akan memaafkan kalian," katanya. "Tapi yang membuatku kecewa adalah… mengapa kalian tidak memperhatikan warga kalian? Mengapa hanya bertindak ketika bencana sudah terjadi?"
Salah satu bangsawan mencoba menjawab, gugup. "Kami… kami mengira kami bisa mengandalkan pertahanan internal, Yang Mulia. Kami terlalu fokus pada keselamatanmu…"
Kael menggelengkan kepala pelan, wajahnya tetap tenang tapi matanya tajam. "Keselamatan warga bukanlah tanggung jawab sekadar yang bisa ditunda. Perhatian itu seharusnya hadir sebelum darah tumpah."
Para bangsawan menunduk, rasa bersalah mereka menekan dada, namun tidak ada yang berani memotong ucapan Kael. Ia melanjutkan, "Pertama, kita akan memperbaiki kota ini. Kedua, setelah itu… kalian boleh merayakan kemenangan, sebentar. Karena untuk sementara, sekte tidak akan bertindak. Kehancuran yang terjadi hari ini telah cukup memberi mereka pelajaran."
Di balik jendela aula, Shiro berdiri di kerumunan warga. Matanya menyala, melihat bagaimana orang-orang mulai menatap Kael dengan rasa kagum sekaligus takut. Ia berteriak, suaranya jelas: "Terimalah MC! Ia yang menyelamatkan kita!"
Namun, tak ada yang menanggapi kecuali beberapa warga yang gugup. Yang lain mulai mendorong Shiro, sebagian bahkan mengusirnya. "Diam! Jangan ganggu!" bentak seorang wanita, wajahnya penuh ketakutan. Shiro mundur selangkah, wajahnya memerah, hati kecilnya membara. Semua rasa kagumnya pada warga sirna, tergantikan dengan kebencian. "Kalian… kalian tidak pantas!" bisiknya dalam hati, mata menatap ke kejauhan aula.
Kembali di aula, para bangsawan mulai berdiskusi dengan Kael. Seorang bangsawan tua berkata, "Yang Mulia, bagaimana sebaiknya kita memulihkan kota? Kami siap mengikuti perintahmu."
Kael menatap mereka satu per satu, wajahnya lembut namun penuh otoritas. "Kalian harus bekerja sama, bukan hanya untukku, tapi untuk warga. Jangan tunggu bencana berikutnya. Lakukan sekarang, sebelum kesalahan serupa terjadi lagi."
Bangsawan muda lainnya, ragu-ragu, bertanya, "Yang Mulia… apakah kita cukup mampu menahan sekte jika mereka kembali?"
Kael tersenyum tipis, menenangkan. "Sekali lagi, ini bukan tentang siapa yang kuat. Ini tentang siapa yang memiliki keberanian dan keteguhan. Sekali kalian menempatkan warga di atas segalanya, kekuatan akan mengikuti."
Senyum itu sedikit menenangkan, namun tatapan Kael tetap tajam. Bangsawan tua lainnya menunduk dan berkata, "Kami akan memperbaiki kesalahan kami, Yang Mulia. Kami akan memastikan warga aman."
Di luar aula, Shiro menatap dengan mata menyala, perlahan mundur dari kerumunan. Ia menatap darah yang masih membasahi jalanan dan bangunan yang hancur. "Mereka tak pernah layak," pikirnya, mulutnya terkunci, hati membara dengan kebencian dan rasa kecewa pada warga kota. Namun matanya tetap mengikuti Kael, harapan kecil yang tersisa di dalamnya masih menuntunnya, meski ia kini tahu, dunia ini penuh ketidakadilan.
