"Need Hero to Survive?"
Elior menatap sampul buku itu lama, rasa familiar menyelinap di benaknya, bercampur heran.
"Ada apa dengan cerita ini?" tanyanya akhirnya.
Nolan tersenyum kecil. "Kita bakal baca bareng. Tepatnya, aku yang baca—karena kalau kamu yang baca, pasti ngantuk di tengah jalan," godanya.
Elior mendengus pelan. "Iya, iya…"
Dalam hati, ia sempat bergumam, "Gimana coba gua jelasinnya?" Perasaan bingung sempat menguasainya.
Sementara itu, Nolan mulai menjelaskan isi buku itu perlahan, memilih kata-kata sederhana agar mudah dipahami.
Buku itu bercerita tentang seseorang dari dunia lain yang dipanggil ke dunia baru untuk membasmi Azael, ras sempurna—namun angkuh dan berbahaya.
Baru mendengar awalnya saja, Elior sudah bertanya,
"Kenapa kamu kasih aku cerita kayak gini? Bukannya kamu benci, ya?"
Mendengar itu, hati Nolan bergetar. Baginya, fiksi bukan sekadar hiburan—itu adalah mahakarya, ekspresi, dan jiwa yang hidup.
Meski semangatnya menggebu, Nolan tetap tenang. Dengan senyum kecil di wajahnya, ia menjelaskan,
"Memang kelihatannya membosankan, tapi buku ini punya cara bercerita yang luar biasa. Ceritanya mudah dipahami, tapi bagi pembaca sejati… bisa sangat memikat."
Elior mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Maksudnya, kamu nggak perlu jadi penggemar novel kayak aku untuk menikmatinya. Tapi kalau kamu mencoba menyelaminya lebih dalam… kamu bisa merasa masuk ke dalam ceritanya."
"Wow…" Elior menatapnya kagum. Tapi di balik kekagumannya, ada rasa penasaran yang tumbuh.
"Masuk ke dalam cerita itu gimana maksudnya? Kayak, beneran masuk?"
Nolan menatapnya dengan bahagia. Di matanya, Elior tampak seperti anak kecil yang baru menemukan dunia baru.
Ia pun kembali membaca, melanjutkan kisah itu hingga sampai pada bagian yang tegang.
Lalu, dengan suara lembut, Nolan berbisik,
"Sekarang coba rasakan… jangan cuma baca."
"Sang MC terdiam.
Suara kerumunan di sekitarnya menghilang, seolah dunia ikut membisu bersamanya.
Semua yang ia perjuangkan… dibayar dengan pengkhianatan.
Saat itu, hidup terasa hampa—seakan setiap luka, setiap darah, semuanya sia-sia.
Dengan tatapan kosong, ia mengangkat pedangnya.
Senjata yang dulu digunakan untuk membasmi monster… kini ia tujukan untuk menjadi monster itu sendiri."
"Ehh... kenapa lebai banget ya? Aku tahu itu terasa menyakitkan, tapi kenapa harus gitu?"
Nolan, yang tahu isi pikiran Elior, tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Elior dengan senyuman—seolah menantikan Elior menemukan jawabannya sendiri.
"Ah, benar. Aku harus merasakannya."
Lalu ia menuruti kata-kata Nolan, mencoba benar-benar merasakan kalimat itu.
Elior terus merenungi kalimat tersebut. Ia belum sepenuhnya mengerti, tapi yakin bahwa bagian itu memang sangat emosional.
"Hmm... tapi kenapa kalimatnya lebai banget ya?"
Elior lupa kalau Nolan bisa membaca pikirannya. Nolan pun langsung memberi contoh, bagaimana narasi itu akan terdengar jika dijelaskan secara terang-terangan.
"Dia marah meledak-ledak, kecewa dengan semuanya, dan merasa ingin menghancurkan dunia beserta isinya. Tanpa pikir panjang, ia menebas pedangnya tanpa ampun."
"Coba kamu bandingin kalimat ini dengan yang tadi, lebih bagus yang mana?"
Elior terdiam, lalu kembali merenung.
Yang pertama terasa aneh baginya—wajar, karena ia hampir tidak pernah membaca novel. Setiap katanya seperti dibuat agar pembaca merasakannya.
Sedangkan yang kedua, terasa lebih mudah dipahami dan langsung ke inti.
"Tunggu... merasakannya?" gumam Elior, mulai menyadari sesuatu yang janggal dari pikirannya sendiri.
Ia baru sadar, paragraf pertama seharusnya lebih bagus, karena membuat pembaca merasakan emosi. Sedangkan yang kedua terasa dipaksakan, hanya agar pembaca mengerti apa yang dirasakan tokoh.
Elior terdiam, tidak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja ia pelajari.
Nolan tertawa—meski hanya di dalam hati Elior. Perasaan dan kata-kata Elior begitu nyata hingga menyentuh hatinya.
Melihat Nolan tertawa, Elior tiba-tiba teringat: Nolan bisa membaca pikirannya. Dan ia masih mengingat janji Nolan—untuk selalu menjaga privasi itu, jadi dia pasrahkan saja.
"Aku sudah mengerti... tapi aku belum bisa kayak kamu, yang benar-benar menikmatinya."
"Tentu saja. Kamu masih baru baca novel, wajar kalau belum terbiasa."
Nolan berdiri, menepuk celananya, lalu bersiap pergi meninggalkan Elior.
"Kau mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana, cuma mau keliling toko sebentar. Sekalian cari toilet."
"Oh, oke."
Setelah Nolan pergi, Elior kembali menatap paragraf itu.
Kalimat itu berputar terus di kepalanya, tak berhenti.
Dan perlahan, dia mulai merasakannya.
Pikiran Elior dipenuhi oleh rasa kecewa dan amarah. Dada terasa sesak, tubuhnya dingin, gemetar.
Persis seperti yang digambarkan dalam novel itu.
"Ada apa ini? Kenapa perasaan ini... begitu nyata? Ini... terlalu nyata."
Elior berdiri, mundur perlahan, tubuhnya goyah di antara kebingungan dan ketakutan.
Kepalanya berdenyut keras.
"Ugh... kenapa... kepalaku... pusing terus..." gumamnya lirih. Ia sempat mencoba memanggil Nolan, tapi suaranya tenggelam sebelum sempat keluar.
Ketika akhirnya membuka mata, pandangannya kabur.
Elior menatap sekeliling—dan sadar, tempat ini… bukan tempat biasa.
Sulit dijelaskan, seperti dirinya berada di ruang yang melampaui pengertian manusia.
Segalanya terasa… sudah ditentukan.
Ia melihat peristiwa demi peristiwa dari berbagai cerita fiksi. Semua emosi, semua penderitaan, semua kebahagiaan—semuanya ia rasakan.
Dan di antara ribuan kejadian itu, pandangannya berhenti pada satu sosok.
Kael.
Ia melihat Kael menghabisi karakter-karakter lain tanpa ampun.
