Elior menatap buku itu lagi. Lelah, bingung, dan keinginan untuk berhenti terus muncul di pikirannya. Suara misterius terdengar lagi, lembut tapi tegas:
"Teruskan membaca."
Elior menarik napas dalam.
"Hei… aku lelah. Kau terus memaksaku. Siapa kau? Kenapa bisa muncul di pikiranku?"
Suara itu menjelaskan bahwa membaca cerita seperti ini bisa mengubah hidupnya, bahkan menyelamatkannya. Elior mengerutkan kening, ragu tapi penasaran.
"Apa maksudmu mengubah dan menyelamatkan?"
Suara itu memberitahu bahwa Elior hanyalah karakter biasa, tidak punya minat pada cerita fiksi. Bahkan setelah dorongan Nolan, sifatnya yang acuh tetap ada.
"Tentu saja kau tidak membantu!" Elior menegaskan, tangannya mengepal.
"Kau cuma memaksaku membaca. Kau bisa bilang sesuatu tentangku, tapi kau tidak benar-benar mengerti perasaanku."
"Lalu apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan, wahai suara misterius?"
Suara itu terdiam sebentar. "Kau benar… kau butuh metode berbeda."
Tiba-tiba, suara itu menghilang. Pusing menusuk kepala Elior, membuatnya terjatuh. Saat membuka mata, ia tidak lagi di kamarnya. Rak-rak buku menjulang, melayang seolah menari, dan di tengah ruangan, Nolan membaca sendirian.
"Oh, ada tamu! Siapa yang mengundang nih? Hihihi."
Elior menatap sekeliling, bingung.
"Apa yang terjadi?"
"Loh, aku juga kurang tahu," jawab Nolan sambil tersenyum.
"Pasti ada seseorang yang mengirimmu ke sini. Mereka setingkat 'Story Staff'. Tapi siapa? Aku juga tidak tahu."
"Story Staff?"
"Ya. Ini perkumpulan entitas di atas karakter fiksi, seperti Trinity dan Story Staff. Tempat ini bukan sekadar perpustakaan. Banyak hal di sini yang belum pernah kau lihat. Karena kamu karakter spesial, kamu bisa mengetahuinya."
"Karakter… spesial?" Elior menunduk, mencoba mencerna.
Kepalanya kembali terasa sakit, mengingat beberapa kejadian samar akibat bius Nolan.
"Gapapa kalau masih bingung. Nanti kita bahas pelan-pelan. Untuk sekarang, istirahat dulu, oke?" Nolan menepuk bahunya lembut.
Rasa sakit berangsur hilang. Elior mengangguk, dan Nolan menjentikkan jarinya. Cahaya lembut menyelimuti ruangan. Elior menutup mata, dan saat membuka lagi… ia sudah di kamarnya sendiri.
Ia menatap kalender.
"Hari Jumat? Apa spesialnya? Semua hari rasanya sama saja," gumamnya.
Kini ia sadar—Jumat menandai awal libur akhir pekan. Ia bangun, membersihkan diri, dan keluar rumah.
Di bawah langit biru, angin sepoi-sepoi, burung berkicau, Elior merasakan hatinya ringan. Ia bertemu Nolan, yang menyapanya ceria.
"Halo, baru bangun tidur ya? Terpesona sama pemandangan?"
"Nolan? Ehhhh…" Elior membeku sejenak, kepalanya masih terasa pusing.
"Gak usah kebanyakan mikir. Nikmati saja suasananya, oke?"
Otak Elior perlahan tenang. "O… oke," jawabnya.
Nolan mengepalkan tangan ke arahnya. Elior tersenyum dan mengepalkan tangannya juga. Dalam hati, ia berpikir:
Ternyata hal sekecil ini bisa bikin aku semangat… tapi kenapa?
Ia memutuskan menikmati momen itu. Angin lembut, kicauan burung, dan suasana sepi membuat langkahnya ringan. Percakapan dengan Nolan terasa hangat.
Di tengah momen itu, Nolan mengusulkan mereka pergi ke toko buku yang pernah dikunjungi. Elior menyetujuinya.
Toko sepi. Penjaga belum datang.
"Mungkin baru buka, makanya sepi," kata Nolan sambil tersenyum.
Mereka naik ke lantai atas dan duduk dekat jendela di kanan pintu. Elior terpana melihat pemandangan luar. Meski terus berpikir hal itu, ia tetap menikmatinya.
"Tunggu… kenapa aku lebay banget? Padahal biasa saja. Kenapa aku terus mendeskripsikan suasana seperti novel?" gumamnya.
Ia teringat sosok bercahaya kemarin—harus membaca novel. Setelah merenung, ia mulai merasa relevan dengan cerita. Setiap momen bisa dinarasikan lewat tindakan, monolog, dan detail kecil, memberi warna bagi pembaca.
Nolan duduk, tersenyum. "Yup, sepertinya kau sudah mulai mengerti."
"Tunggu… maksudmu apa?" Elior terkejut.
"Aku mendengar semua itu, karena aku bisa membaca pikiranmu."
Wajah Elior memerah. Tangannya gemetar. "Kau… bisa membaca pikiran?!"
"Hahaha, gak usah panik. Aku bisa jaga privasi kok," kata Nolan sambil memejamkan mata kirinya.
"Lagipula, aku kan membantu kamu. Jadi seharusnya berterima kasih dong."
"Terima kasih buat apa? Kamu nolong apa?" Elior masih malu-malu.
"Aku cuma nyuruh kamu nikmati momennya. Sekarang kamu mulai memahami novelnya, kan? Berarti aku sudah nolong dong."
"Hmmm… iya-iya, terima kasih," Elior tersenyum, mulai tenang.
Mereka duduk bersama. Nolan membuka sebuah buku berjudul Need Hero to Survive dan menatap Elior sambil tersenyum penuh arti.
