Cherreads

Chapter 9 - BAB 9 — Nama yang Mulai Dibisikkan Orang

Hujan mengguyur kota sepanjang malam, membuat aspal berkilat seperti kaca hitam. Surya berdiri di pinggir trotoar, mantel tipisnya basah. Di bawah payung kecil, seorang lelaki tengah baya dengan kemeja mahal menyalakan rokok sambil memandang Surya dari samping.

"Aku ndelok kowe luwih sepi saka liyane," katanya pelan.

("Aku melihat kamu lebih tenang daripada yang lain.")

Dia adalah Karta, tangan kanan Bos.

Orang yang jarang bicara, tapi sekali bicara, semua orang mendengarkan.

"Apa sudah siap?" tanya Karta.

Surya hanya mengangguk.

Malam itu, Surya tidak lagi diberi tugas mengantar barang atau menagih hutang.

Kali ini, ia ditugaskan mengawal salah satu pengusaha gelap dari tengah kota ke gudang luar.

Tugas yang biasanya hanya diberikan kepada orang-orang senior.

Tugas yang berarti: kamu mulai dipercaya.

Mobil kijang hitam melaju pelan menembus hujan.

Di dalam, pengusaha itu—orang berperut buncit dengan cincin emas—bicara terlalu banyak. Ia menceritakan lawan-lawan bisnisnya yang iri, utang besar, dan teman-teman yang bisa menjebaknya kapan saja.

Surya hanya mendengarkan.

Diam, seperti biasa.

Setengah perjalanan, mobil berhenti mendadak. Jalanan sepi, lampu jalan mati. Hanya suara hujan deras dan angin yang menghempas pepohonan.

"Mereka datang…" bisik supir.

Dari kegelapan, empat motor muncul. Lampu utama diarahkan pada kaca depan mobil, menyilaukan.

Surya bisa merasakan ketegangan yang langsung mengikat udara.

Salah satu lelaki di motor berteriak:

"Keluaaar! Iki wis dakkandhani! Utangmu kudu dibayar dina iki!"

("Keluar! Sudah kubilang! Hutangmu harus dibayar hari ini!")

Pengusaha itu gemetar hebat.

"Surya… Surya tulung! Aku ora iso mati saiki…"

("Surya… tolong! Aku nggak bisa mati sekarang…")

Surya menarik napas pelan.

Ia membuka pintu, turun ke jalan yang tergenang air.

Tidak ada gertak.

Tidak ada teriakan.

Hanya Surya berdiri sendirian di tengah hujan, menatap mereka satu-satu.

"Sing nduwé utang iki wongmu?" tanya Surya datar.

("Yang punya utang ini orangmu?")

Pemimpin geng itu mendengus.

"Terus? Kowe arep opo? Bocah cilik koyo kowe—"

Belum selesai bicara, Surya menendang genangan air keras ke arah wajahnya, membuatnya kaget dan kehilangan pegangan. Dua detik kemudian, Surya sudah meraih helmnya, memukulnya ke kap mobil hingga lelaki itu jatuh terkapar.

Dua orang lain maju membawa besi.

Surya bergerak cepat—lebih refleks daripada brutal.

Satu ditarik lengannya lalu didorong ke arah temannya sendiri hingga keduanya jatuh di aspal.

Yang terakhir mencoba menusuk Surya, tetapi Surya menangkap tangannya, memelintir, dan menghantamkan lutut ke perut lelaki itu.

Cepat. Tenang. Tanpa emosi.

Para penyerang itu tidak mati.

Tidak cacat.

Hanya kalah telak oleh seseorang yang tidak terlihat marah sama sekali.

Ketika mereka akhirnya kabur dengan motor yang tersisa, Surya kembali masuk mobil tanpa kata-kata.

Sesampai di gudang, Karta menunggu di depan.

Ia melihat basah kuyupnya Surya… lalu melihat pengusaha itu yang masih gemetar.

"Ada masalah?" tanya Karta datar.

Pengusaha itu menunjuk Surya dengan wajah pucat.

"Anak iki… gila tenan iki… tapi tenang… tenang kaya banyu sumur…"

Karta memandangi Surya lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis.

"Sing kaya ngene iki… langka."

("Yang seperti ini… langka.")

Sejak malam itu, nama Surya mulai diperdengarkan di ruang-ruang penting.

"Cah desa kuwi lho…"

("Anak desa itu lho…")

"Sing ora tau emosi."

("Yang nggak pernah emosi.")

"Sing matane koyo ora nduwé rasa wedi."

("Yang matanya seperti tidak punya rasa takut.")

Surya tidak meminta apapun dari semua ini.

Tapi dunia gelap kota memang seperti rawa—sekali kaki masuk, lumpurnya akan menarik semakin dalam.

Ia dapat uang lebih banyak.

Dapat kepercayaan lebih besar.

Jalan-jalan kota mulai terasa seperti wilayahnya.

Namun Surya tetap menyimpan satu wajah yang tidak dilihat siapa-siapa: wajah anak desa yang masih pulang setiap minggu untuk mencuci pakaian, memetik cabai, dan tidur di dipan bambu.

Dua kehidupan.

Dua dunia.

Satu orang.

Dan perlahan… Surya mulai menjadi legenda kecil di dunia yang tidak mengenal belas kasihan.

 

More Chapters