Cherreads

Chapter 14 - BAB 14 — Langkah Pertama Sang Bayangan: Pengkhianatan, Pemburuan, dan Lahirnya Jaringan Hitam Surya

Kabar tentang keputusan Surya menyebar seperti minyak menyambar api.

Dalam satu malam saja, seluruh dunia gelap kota itu seperti terbelah—bukan menjadi dua, tetapi menjadi tiga.

Dan yang ketiga itu…

bukan kubu, bukan kelompok, tapi seorang manusia yang tak lagi dilihat sebagai manusia.

1. PENGKHIANATAN YANG DIMULAI DARI BISIKAN

Di markas Lingkar Atas, ruangan rapat penuh asap rokok dan suara-suara geram.

Brahma duduk di kursi kayu besar, mengetuk meja sambil menatap anak buahnya.

"Anak itu sudah lupa diri," gumamnya.

"Kalau kita biarkan, kota ini bisa jungkir balik."

Salah satu orang dekatnya berkata,

"Bos, kita rekrut saja lagi. Atau kirim peringatan."

Brahma menggeleng pelan.

"Surya bukan orang yang bisa diperingatkan."

Kemudian ia menambahkan, lirih,

"Dan dia bukan orang yang bisa kita bunuh begitu saja."

Hening.

Kata bunuh itu sendiri terdengar seperti candaan pahit yang tak ada yang berani tertawa.

Sementara itu, di kubu Anak Barat, Rango mengamuk, menendang meja hingga pecah.

"Anak kampung itu bikin aturan sendiri?! Aku nggak terima!"

Tapi beberapa anak buahnya saling pandang.

Salah satunya berbisik,

"Bos… kita lihat mata anak itu tadi… kayak ada setan di belakangnya."

Bisikan kecil itu menyebar.

Seperti racun.

Seperti bibit pengkhianatan.

Beberapa orang mulai diam-diam menghubungi Surya.

Menawarkan kerja sama.

Menawarkan informasi.

Menawarkan kesetiaan, kalau itu bisa memberi mereka tempat utama di sisi seorang monster baru.

Dan Surya menerima semuanya…

tanpa menjanjikan apa pun.

Ia hanya berkata:

"Kalau kalian berguna, kalian hidup.

Kalau tidak… jangan mendekat."

Itu saja.

Dan anehnya, itu cukup.

2. PEMBURUAN DIMULAI

Tiga hari setelah pertemuan di taman itu, Surya pulang ke kost kecilnya di pinggir kota.

Bangunan reyot, cat terkelupas, kamar cuma 2x3 meter.

Namun itulah tempat ia tidur, berpikir, merencanakan.

Saat ia membuka pintu, ia langsung tahu sesuatu salah.

Udara di dalam kamar…

terlalu tenang.

Surya memiringkan kepala sedikit.

Mendengar yang tidak didengar manusia biasa.

Suara napas tertahan.

Sepatu menggesek lantai perlahan.

Detak jantung seseorang yang sedang tegang.

Surya tidak berteriak.

Tidak panik.

Ia hanya berkata pelan:

"Keluar. Sebelum aku membuatmu keluar."

Tiga pria bertopeng muncul dari belakang lemari.

Senjata api terarah ke wajahnya.

"Maaf, Mas… ini cuma kerjaan," ujar salah satu dari mereka.

Surya menatapnya lama.

Tatapan yang membuat udara kamar terasa lebih sempit.

"Kerjaan siapa?" tanya Surya.

Pria itu tidak menjawab.

Tapi tubuhnya menjawab lebih cepat—

TANGAN SURYA bergerak lebih cepat dari pikiran mereka.

Tidak pakai teknik silat muluk.

Tidak pakai jurus.

Hanya gerakan ringan, tenang, seperti seseorang memindahkan gelas ke tempat lain.

Namun dalam sekejap:

Satu orang mental ke tembok.

Satu terjatuh sambil memegangi tenggorokan.

Satu lagi terdiam ketakutan, pistolnya jatuh.

Surya mendekat, suaranya rendah:

"Sampaikan pada yang menyuruhmu…

Kalau mau membunuhku, jangan kirim orang yang takut mati."

Ia mengetukkan jari ke dahi pria itu—

dan orang itu langsung pingsan.

3. LANGKAH PERTAMA MEMBANGUN JARINGAN HITAM

Malam itu Surya duduk di atas atap gedung, menatap kota.

Di bawah sana, lampu-lampu kendaraan berkejaran seperti urat yang tak pernah tidur.

Sementara angin dingin menyentuh wajahnya, membawa aroma besi dan peluh.

Surya tahu satu hal:

Ia tidak bisa sendirian.

Tapi bukan tentara yang ia butuhkan.

Bukan pasukan.

Yang ia butuhkan adalah:

orang-orang tak terlihat yang bisa mengubah apa pun tanpa menyentuh apa pun.

Orang pinggiran.

Pengamen jalanan.

Kurir.

Satpam kecil.

Preman terminal.

Penjual nasi kucing.

Mereka tidak dianggap siapa-siapa.

Padahal merekalah mata dan telinga kota.

Surya mulai mendekati mereka, satu per satu.

Bukan dengan uang.

Bukan dengan ancaman.

Ia mendekat dengan hadir.

Dengan tatapan yang membuat mereka merasa dilihat.

Dengan kalimat sederhana:

"Aku butuh kamu.

Dan kamu akan aman di sisiku."

Dalam dua minggu saja, ia sudah punya:

– lima informan di terminal

– dua pengamen yang hafal keluar masuknya preman kota

– sopir-sopir ojek yang bisa memantau pergerakan musuh

– tiga kurir yang tahu siapa bertemu siapa

– dua orang anak buah Brahma yang diam-diam membelot

– dan satu orang Anak Barat yang berkata ingin "melihat dunia terbakar."

Itu bukan pasukan.

Bukan geng.

Bukan kelompok.

Itu adalah bayangan.

Bayangan Surya.

Dan di kota itu, bayangan mulai bicara.

Bayangan mulai bergerak.

Bayangan mulai menakuti orang-orang yang hanya berani berjalan di tempat terang.

4. KOTA MULAI GOYAH

Dalam satu bulan, tiga markas kecil Anak Barat digrebek polisi.

Empat gudang Lingkar Atas terbakar.

Dua kurir senjata hilang tanpa jejak.

Semua orang menyalahkan satu sama lain.

Tapi pelakunya tidak pernah tertangkap.

Tidak pernah terlihat.

Hanya ada satu bisikan yang makin sering terdengar:

"Iki dudu polisi…"

(Ini bukan polisi…)

"Iki gawene Surya."

(Ini kerjaan Surya.)

Dan mereka benar.

Surya tidak membunuh siapa pun.

Tidak memerintahkan siapa pun menembak.

Ia hanya menarik satu benang kecil—

dan dunia gelap kota itu mulai terurai sendiri.

5. SEBUAH KALIMAT YANG MENGUBAH HERARKI KOTA

Di suatu malam yang gelap, saat Surya duduk di warung kopi kecil, seorang informan berkata gugup:

"Mas… iki wes kebangeten.

Mereka semua ngomong jenengan…

koyo hantu, Mas."

("Mas… ini sudah keterlaluan.

Mereka semua bilang Anda… seperti hantu, Mas.")

Surya tersenyum kecil.

"Hantu tidak butuh uang.

Aku butuh."

Informan itu menelan ludah.

Surya menambahkan:

"Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu."

"Apa itu, Mas?"

Surya menatap ke arah kota yang penuh lampu.

"Aku tidak sedang membangun kekuasaan."

Informan itu bingung.

"Lah terus… jenengan ngopo iki semua?"

(Lah terus… Anda ngapain lakukan semua ini?)

Surya menjawab pelan—

sepelan angin yang membawa bau besi:

"Aku sedang membangun ketakutan."

Dan itulah malam ketika kota resmi berguncang.

Karena kekuasaan bisa direbut.

Uang bisa dicuri.

Senjata bisa dihancurkan.

Tapi ketakutan?

Sekali tercipta,

tak ada yang bisa mencabutnya.

Dan Surya…

baru saja menanamkan ketakutan itu di seluruh kota.

 

 

 

 

 

 

 

 

More Chapters