Cherreads

SENTUH AKU, PAK DOKTER

Mawar_Merah_3304
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
154
Views
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. S3ks

"Nghh… mmmph—"

Evelyn buru-buru menjauhkan wajahnya, menekan dada Arthur hingga ciuman mereka terputus. Nafasnya memburu.

"Maaf, Arthur… aku nggak bisa," ucapnya gemetar.

Arthur menatapnya, kening berkerut. "Kenapa lagi, baby? Kita sudah tiga tahun bersama. Kamu masih belum bisa sentuhan sama aku? Hubungan tanpa seks itu… hambar."

"Bukan aku nggak mau," Evelyn menunduk, memegangi tangannya sendiri. "Traumaku… setiap kali kamu menyentuhku, tubuhku seperti menolak. Aku takut, Arthur… aku benar-benar takut."

Arthur menghela napas panjang lalu bangkit dari tempat tidur. "Kita akan menikah sebentar lagi, Eve. Tapi kalau kamu begini terus…"

"Aku tahu," Evelyn memotong dengan suara lirih. "Aku sudah berusaha. Tiga tahun kamu sabar sama aku, aku berterima kasih… tapi ada gejolak dalam diriku yang nggak bisa aku kontrol."

Arthur mendengus, wajahnya berubah kesal. "Kamu cuma bikin mood aku hancur. Sudahlah. Lebih baik kamu ke psikolog saja. Mommy ku rekomendasikan satu untuk kamu. Jangan sampai nanti kita menikah tapi kamu tetap 'rusak' begini."

Ia melemparkan sebuah kartu nama ke arah ranjang, lalu keluar sambil membanting pintu keras-keras.

Evelyn terlonjak. Hening kembali mengisi kamar.

Perlahan ia mengambil kartu nama itu. "Juan Smith…" gumamnya.

Ia menatap nama itu lama, alisnya berkerut.

"Kenapa… namanya seperti pernah aku dengar?" bisiknya resah.

Evelyn bergegas keluar dari kamar Arthur dengan dada sesak. Mereka sudah tiga tahun tinggal bersama—tiga tahun tanpa satu pun sentuhan intim. Bukan karena tidak cinta… tapi karena trauma yang selalu menahannya.

Ia mengambil kunci mobilnya dan tancap gas menuju alamat yang tertulis di kartu nama yang dilempar Arthur.

Sesampainya di depan klinik, Evelyn memarkir mobilnya, menarik napas panjang, lalu masuk.

"Permisi," ucapnya di meja resepsionis.

Seorang staf klinik tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

"Saya… ingin bertemu dengan Juan Smith. Saya calon menantu Madam Laurent."

Mata staf itu sedikit membesar, lalu ia berdiri. "Oh, baik. Silakan ikut saya. Tuan Juan sudah menunggu."

Evelyn mengangguk dan mengikuti langkahnya. Setibanya di depan pintu berlabel Dr. Juan Smith – Trauma & Relationship Therapist, jantung Evelyn berdetak lebih cepat.

Ia membuka pintu.

Dan di sana—duduk dengan kemeja putih rapi, tubuh tegap tinggi 189 cm, wajah yang dulu pernah memenuhi hari-harinya—Juan Smith.

Pria yang pernah ia cintai.

Pria yang pergi meninggalkannya demi kuliah ke luar negeri.

Juan mendongak, dan mata mereka bertemu. Ada sekejap keheningan yang terasa sangat panjang.

"Evelyn," ujar Juan pelan, bibirnya terangkat tipis. "Ternyata dunia ini memang sempit. Jadi kamu… calon istri Arthur. Saudara tiriku."

Evelyn menelan ludah. "Iya… sepertinya takdir suka bercanda."

"Silakan duduk," ucap Juan, menunjuk sofa dihadapannya.

"Terima kasih," Evelyn duduk perlahan, masih berusaha mengatur napas.

Juan mengambil selembar kertas kosong dan menyerahkannya bersama pensil. "Kita mulai ringan dulu. Gambarlah pohon, rumah, dan seseorang. Tidak harus bagus sebisa mu saja."

Evelyn mengangguk dan mulai menggambar dengan tangan agak bergetar.

Sementara itu, Juan berkata dengan suara lembut, "Dan… kamu bisa mulai cerita kapan pun kamu siap. Anggap saja aku bukan masa lalu mu. Aku ada di sini sebagai terapis, bukan sebagai mantan yang pernah kamu cintai. Walaupun, ya… aku memang tahu sebagian hidupmu. Tapi tidak semuanya."

Evelyn berhenti menggambar sejenak.

Hatinya bergumam, Apa aku bisa menceritakan hidupku ke pria yang dulu aku cintai sejak senior high school?

Ia menarik napas panjang.

"Semuanya… bermula sejak aku kecil," bisiknya lirih. "Ayah dan ibuku… mereka sering sekali bertengkar. Ayahku judi, mabuk, punya hutang di mana-mana. Dan saat ia pulang… semua kemarahan itu dilepaskan ke ibu."

Tangan Evelyn bergetar mengingatnya. "Aku melihat semuanya. KDRT… teriakan… piring pecah. Aku hanya bisa bersembunyi sambil menutup telinga."

Juan terlihat menegang. Matanya perlahan memerah.

"Lalu… saat aku umur tujuh belas tahun…" suara Evelyn pecah. "Ibu… meninggal. Ayah membunuhnya."

Setetes air jatuh di tangan Evelyn.

Ia menunduk.

Sementara Juan, tanpa bisa menahan diri, meneteskan satu air mata. "Eve… aku—"

Evelyn menggeleng. "Belum selesai."

Ia menggigit bibirnya, suaranya semakin kecil. "Saat umur sembilan belas… aku hampir diperkosa. Sejak itu… sejak itu setiap laki-laki menyentuhku, tubuhku seperti kembali ke masa itu."

Air matanya jatuh lagi.

"Arthur… dia baik. Tapi setiap dia memelukku, menciumku… aku seperti melihat semuanya lagi. Aku ketakutan. Dan aku benci diri sendiri…"

Evelyn menutup wajahnya dengan tangan.

"Kenapa tubuhku tidak mau berhenti mengingat…?"

Juan meraih sekotak tisu di meja, menarik beberapa lembar, lalu menyodorkannya dengan lembut.

"Eve… sini," ucapnya pelan.

Evelyn mengambil tisu itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih…"

Juan menatapnya dalam-dalam, suaranya merendah. "Apa Arthur tahu semua ini? Tentang masa kecilmu… tentang kejadian saat kamu berusia sembilan belas tahun?"

Evelyn mengangguk lemah. "Iya… aku sudah cerita semuanya."

Juan bersandar sedikit ke depan, kedua tangannya terlipat di lutut. "Dan bagaimana reaksinya?"

Evelyn menghela napas panjang, menatap tisu di tangannya. "Awalnya dia bilang dia mengerti. Dia sabar… dia bilang dia nggak akan memaksaku."

Ia menunduk, suaranya melemah. "Tapi belakangan… dia mulai kesal. Dia bilang hubungan kami hambar. Dia bilang… aku harus sembuh sebelum kami menikah."

Mata Evelyn memanas lagi. "Karena itu dia menyuruhku datang ke sini. Dia bilang kalau aku nggak berubah… semuanya bisa berantakan."

Juan menatapnya lama, wajahnya berubah serius. "Eve… aku perlu tahu sesuatu. Dia menyuruhmu datang ke sini karena peduli? Atau karena dia merasa 'dirugikan'?"

Evelyn terdiam. "Aku… aku nggak tahu. Mungkin… mungkin keduanya."

"Dia pernah menyalahkan kamu?" tanya Juan pelan, tapi tegas.

Evelyn menggigit bibir. "Tadi pagi… dia bilang aku bikin mood-nya rusak. Dia marah dan pergi. Tapi… dia juga sudah bertahan tiga tahun. Mungkin dia lelah."

Juan menghela napas keras, matanya sedikit mengecil. "Lelah… bukan alasan untuk melempar bebanmu kembali ke kamu, Eve. Trauma bukan sesuatu yang kamu pilih."

Evelyn menatapnya, suara kecil keluar, "Aku cuma… takut kehilangan dia."

Juan menatapnya lembut, tapi penuh ketegasan seorang profesional. "Dan kamu juga takut kehilangan kendali atas dirimu sendiri, kan?"

Evelyn mengangguk kecil.

"Eve." Juan mencondongkan tubuh, menatap matanya. "Di sini, kamu aman. Aku tidak akan menghakimi kamu. Kita akan pelan-pelan. Kamu tidak sendirian."

Air mata Evelyn jatuh lagi, tapi kali ini lebih pelan, seperti lega.

Juan merapikan kacamatanya, mengambil buku catatan kecil, lalu menatap Evelyn dengan tenang.

"Aku akan membantu kamu, Eve," ucap Juan dengan suara yang sangat lembut namun mantap. "Trauma bukan akhir. Semua orang bisa pulih… asalkan ada kemauan dan kita jalani prosesnya dengan benar."

Evelyn mengusap sisa air mata di pipinya. "Aku… aku mau sembuh, Juan. Aku capek hidup takut seperti ini."

Juan mengangguk pelan, menulis sesuatu. "Bagus. Itu langkah pertama."

Ia menutup bukunya sebentar, lalu menatap Evelyn langsung di mata, suaranya berubah lebih profesional.

"Dari apa yang kamu ceritakan—masa kecil yang penuh kekerasan, kehilangan traumatis, dan pengalaman hampir diperkosa saat usia delapan belas—aku bisa menyimpulkan ada pola yang jelas."

Evelyn menelan ludah keras.

"Menurut diagnosaku," lanjut Juan hati-hati, "kamu menunjukkan gejala Complex Post-Traumatic Stress Disorder, atau C-PTSD."

Evelyn mengerjap. "C-PTSD… beda dengan PTSD biasa?"

Juan mengangguk. "Iya. PTSD biasanya muncul dari satu kejadian traumatis. Tapi C-PTSD… muncul dari trauma jangka panjang dan berulang. Seperti kekerasan di rumah, ketakutan yang kamu alami bertahun-tahun, dan kemudian pengalaman traumatis di usia remaja."

Ia mencondongkan tubuh sedikit, nada suaranya penuh empati.

"Gejala kamu—ketakutan saat disentuh, tubuh yang otomatis menolak kontak fisik, kilas balik, kecemasan ekstrem—semua itu sangat konsisten dengan C-PTSD."

Evelyn menggenggam tisu erat-erat. "Jadi… ada yang salah sama aku?"

"Tidak," jawab Juan cepat namun lembut. "Tidak ada yang salah dengan kamu. Yang salah adalah hal-hal buruk yang terjadi pada kamu. Reaksi tubuhmu justru… normal. Itu cara otakmu melindungi kamu."

Evelyn menunduk, bahunya bergetar sedikit. "Aku kira… aku merusak hubungan aku sendiri."

Juan menggeleng dengan ekspresi serius. "Yang harus kamu tahu, Eve… penyembuhan trauma bukan tentang menyenangkan pasangan. Tapi tentang memulihkan dirimu sendiri."

Ia mengambil napas panjang, lalu berkata pelan, "Dan dalam proses terapi ini… aku bukan mantanmu. Aku psikolog yang bertugas membantu kamu menemukan kembali rasa aman."

Evelyn mengangkat wajahnya perlahan. "Berapa lama aku bisa sembuh?"

Juan tersenyum tenang. "Tidak ada batas waktu. Tapi dengan terapi yang konsisten, kamu pasti membaik. Kita akan pakai kombinasi trauma-focused therapy, teknik pernapasan, dan latihan desensitisasi bertahap."

"Dan Arthur… apakah dia bisa membantu?" tanya Evelyn ragu.

Juan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Dia bisa membantu… kalau dia mau belajar memahami kondisi kamu. Tapi kamu tidak boleh menyembuhkan diri untuk seseorang. Kamu sembuh untuk dirimu sendiri."

Evelyn terdiam, matanya basah lagi, namun kali ini lebih mantap.

"Aku… aku siap mencoba," ujarnya pelan.

Juan tersenyum kecil. "Bagus. Kita mulai perjalanan ini sama-sama."

Juan meraih tablet jadwal di mejanya, mengetuk layarnya beberapa kali. "Baik, Eve… untuk langkah pertama, aku akan buatkan jadwal konseling reguler untuk kamu."

Evelyn memperhatikan dengan sisa ketegangan di wajahnya. "Seminggu sekali… cukup, kan?"

Juan mengangguk yakin. "Iya. Frekuensi itu ideal untuk kondisi kamu. Kita butuh ritme yang stabil supaya progresnya terasa. Kamu bisa datang setiap hari Selasa pukul empat sore. Kalau ada kondisi darurat atau kamu mengalami flashback yang parah, kamu boleh hubungi asistennya dulu untuk penyesuaian jadwal."

Evelyn menarik napas lega. "Terima kasih, Juan. Serius… aku merasa sedikit lebih tenang setelah ngomong sama kamu."

Juan tersenyum kecil—senyum yang tidak sepenuhnya bisa ia kendalikan. "Itu memang tujuan terapi. Kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri, Eve."

Evelyn merapikan tasnya. "Kalau begitu, aku pamit dulu. Sampai ketemu Selasa depan."

"Baik. Hati-hati di jalan," jawab Juan dengan nada profesional, meski matanya menahan sesuatu.

Evelyn menunduk singkat, lalu keluar dari ruangan. Pintu tertutup perlahan.

Begitu pintu benar-benar menutup, Juan bersandar ke kursinya. Bernapas panjang. Pandangannya menatap tempat Evelyn duduk tadi, seolah masih melihat bayangannya.

Dalam hati ia bergumam pelan, seolah suaranya sendiri terasa berat.

"Eve… andai saja kita bertemu lagi lebih awal. Andai aku kembali sebelum semuanya hancur. Kamu… kamu nggak akan merasakan semua ini sendirian."

Ia menutup wajahnya sebentar dengan telapak tangan.

"Aku masih mencintaimu," bisiknya dalam hati. "Perasaan itu… bahkan bertahun-tahun aku mencoba membunuhnya, tetap tidak hilang."

Ia menatap kartu jadwal Evelyn yang baru saja ia buat.

"Aku pergi karena aku dipaksa memilih masa depan… dan kamu memilih bertahan. Tapi lihat kamu sekarang…" Ia menghela napas dalam. "Andai aku ada di sini waktu itu… mungkin semuanya berbeda."

Di luar pintu, langkah Evelyn semakin menjauh, tak mengetahui badai perasaan yang disimpan pria itu.

Dan Juan tahu… perasaan itu kini akan menjadi konflik terbesar dalam perannya sebagai terapis dan kakak tiri Arthur.