Cherreads

Chapter 17 - BAB 17 - Hantu Masa Lalu

Langit di atas Lembah Bayangan tampak kelabu, seolah menyerap segala cahaya yang hendak menembusnya. Kabut pekat menyelimuti lembah itu sejak fajar, membuat tempat tersebut tampak seperti dunia lain yang terpisah dari kenyataan. Boy berdiri di tepi jurang, memandangi tanah berbatu yang menjulur seperti gigi raksasa yang mengintainya.

Di belakangnya, dua sosok mengamati tanpa suara.

Badu menggenggam gulungan catatannya erat-erat. "Ini… lembah yang disebut Master Raga. Tempat 'Hantu Masa Lalu' tinggal." Lily suaranya bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Rani memeluk tas kecilnya sambil melihat ke sekitar. "Suasananya bikin bulu kuduk berdiri…"

Boy tak menjawab. Matanya terpaku pada lembah yang gelap itu.

Di dasar lembah, seperti ada suara langkah kecil. Gemerisik. Napas.

Atau mungkin hanya imajinasi.

Namun Boy tahu… sesuatu menunggunya.

"Sesuatu dari masa lalumu," kata Master Raga sebelumnya.

"Sesuatu yang tak bisa dihindari."

Boy menggenggam liontin naga pemberian neneknya. Benda itu hangat, seolah merespon suasana mencekam di sekitarnya.

"Baik," kata Boy perlahan. "Ayo turun."

"KITA turun?!" Badu nyaris menjerit.

"A-apa kamu yakin tidak mau kami jaga di atas saja?" tanya Danu khawatir.

Boy menatap mereka dengan senyum kecil. "Aku tidak mau menghadapi masa laluku sendirian."

Danu terdiam.

Badu menelan ludah… lalu akhirnya mengangguk.

Tujuh sahabat itu pun mulai menuruni lereng lembah.

Langkah-langkah mereka memantul di tebing, menciptakan gema panjang. Setiap batu yang tergelincir dari sepatu mereka terdengar seperti dentingan yang terlalu keras.

Kabut semakin tebal. Tegar harus menyalakan obor.

"T-ta-tapi obor ini… juga makin bikin suasana horor."

"Diam aja, Badu," gumam Sita.

Mereka tiba di dataran luas di dasar lembah.

Di sana, berdiri sebuah bangunan tua:

Paviliun Batu Pecah.

Dindingnya retak, atapnya jebol, namun energi gelap mengalir darinya.

Seperti bangunan itu mengamati mereka.

Boy menelan udara dingin.

"Ayah… pernah ke tempat ini."

Badu membuka catatannya. "Menurut legenda desa, tempat ini dulunya pangkalan rahasia sekte kungfu. Tapi setelah sektenya hancur, sesuatu tinggal di sini. Orang-orang menyebutnya 'Hantu Masa Lalu', karena ia memanggil ketakutan terdalam setiap orang yang masuk."

Badu memeluk dirinya sendiri. "Jangan bilang kita akan..."

BRAK!

Pintu paviliun terbuka sendiri.

Obor Tegar hampir jatuh.

Boy menarik napas panjang.

"Kita masuk."

Ruangan itu gelap. Sangat gelap hingga obor Tegar terasa seperti lilin kecil di tengah kegelapan tak berujung. Tangga batu menurun ke bawah.

Di ujung lorong… ada suara.

Suara yang sangat pelan namun menusuk.

"Boy…"

Boy berhenti.

Badu dan Lily ikut membeku.

"B-boy… tadi itu… suara angin kan?" Badu berbisik.

"Tentu saja bukan…" Kinas memelotot.

Boy merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut…

Tapi karena ia mengenali suara itu.

Itu suara seseorang yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu.

Seseorang yang hanya muncul dalam mimpinya.

"…Ayah?" ujar Boy lirih.

Begitu kata itu keluar, lorong bergetar.

Kabut gelap menyembur dari lantai batu.

Badu dan Lily berteriak dan mundur.

Lalu… dari kabut itu muncul satu sosok.

Wujudnya tinggi, kurus, memakai jubah hitam compang-camping. Wajahnya tertutup bayangan, hanya sepasang mata putih pucat menembus kegelapan.

Namun… ketika ia berbicara…

Suaranya adalah suara ayah Boy.

"Kau tumbuh besar… nak."

Boy tak bisa bergerak.

Rasanya jiwanya tercengkeram.

Badu memegang lengannya. "B-boy… itu bukan ayahmu… Itu ilusi… atau monster… atau—"

"Diam," bisik Boy tanpa marah. Tatapannya tak lepas dari sosok itu.

Sosok berjubah melangkah maju, gerakannya aneh—seperti boneka yang ditarik tali.

"Kau meninggalkan ibumu sendirian… kau membuat nenekmu menderita… kau… kau bukan anak yang pantas menjadi pewaris teknik Naga Samudra."

Suara itu membuat hati Boy seperti ditusuk.

Sita menjerit, "BOY! Jangan dengarkan dia!"

Namun Boy terpaku.

Penglihatan di sekelilingnya bergetar.

Ruangannya seperti menghilang.

Tiba-tiba ia berada di halaman rumah kecilnya, melihat dirinya kecil menangis di samping ibu yang sakit.

"Kalau saja kau lebih patuh… mungkin ibumu tidak meninggal…"

"Kalau saja kau tidak membangkang… Ayahmu tidak meninggalkan kalian…"

"Kaulah penyebab semuanya…"

Boy mencengkeram kepala, menahan sakit yang menyerbu pikirannya.

Rani berteriak panik. "Ini buruk! Itu menyerang psikologisnya! Boy harus dipaksa sadar!"

Sita menggigit bibir, lalu mencoba mendekati Boy. "Boy! Dengarkan aku! Itu bukan kenyataan! Kamu bukan penyebab kematian ibu atau kepergian ayahmu! Itu hanya bayangan—itu hanya monster!"

Tapi Boy masih terperangkap dalam ilusi menyakitkan itu.

Air mata mulai muncul.

Dadanya terasa sesak.

"Hentikan…" bisiknya.

"Tolong… hentikan…"

Sosok berjubah maju selangkah.

Tangan hitamnya melayang ke Boy.

"Serahkan tubuhmu… serahkan hatimu pada rasa bersalah… biarkan aku menelanmu."

Tegar memekik. "BOY!!!"

Dan saat tangan itu hampir menyentuh Boy.

ZRAAAAK!

Sebuah cahaya biru meledak dari liontin naga di leher Boy.

Sosok berjubah terlempar ke belakang, melolong marah.

Boy tersentak dari ilusi itu.

Napasnya memburu. Mata berkedip cepat.

"Badu… Danu…" ia bergumam. "Aku…"

Badu langsung memeluknya singkat. "KAMU BALIK! ASTAGA AKU PIKIR KAMU MATI…"

Sita menampar pelan bahunya. "Bodoh! Jangan lemes gitu!"

Boy tersenyum kecil meski tubuhnya masih gemetar.

Lalu ia bangkit.

Memandang sosok berjubah yang kini berdiri dengan tubuh berasap.

"Siapa kau sebenarnya?" seru Boy.

Sosok itu mengerang, lalu berbicara dengan suara serak yang jauh dari suara ayah Boy sebelumnya.

"Aku… adalah dendam… aku adalah rasa takut… aku adalah penyesalan… aku adalah semua bayangan gelap yang diwariskan ayahmu…"

"JADI KAU MUSUH AYAHKU?" Boy berteriak.

"Bukan."

Sosok itu mendongak. Senyum mengerikan muncul di wajah hitamnya.

"AKU ADALAH AYAHMU."

Badu dan Danu membeku.

Boy tertegun.

Namun sebelum ia sempat menjawab...

Kabut gelap di paviliun itu mulai membentuk pusaran besar yang menyedot udara.

Sosok itu memekik.

"Kalau kau ingin kebenaran… datanglah ke altar terakhir di Puncak Bayangan Hitam… Boy… pewaris Naga Samudra…"

Dan tubuhnya menghilang dalam pusaran kabut.

Boy jatuh berlutut.

Tegar dan Danu memegangi bahunya.

"Boy… kamu gak apa-apa?" tanya Tegar.

Boy menatap tempat sosok itu lenyap.

Bagian dirinya masih gemetar.

Tapi ada sesuatu yang baru dalam tatapannya—sebuah tekad yang meledak dari luka hatinya.

"Aku akan naik ke Puncak Bayangan Hitam," ucap Boy mantap.

Sita menggeleng cepat. "Boy… itu tempat paling berbahaya!"

"Tidak peduli," potong Boy.

Ia berdiri.

"Aku akan mencari kebenaran. Dan jika yang menungguku di sana benar-benar ayahku…"

Matanya menajam seperti baja.

"…maka aku harus siap menghadapi apa pun yang ia menjadi sekarang."

More Chapters