Suara itu…
Dalam. Berat. Menggetarkan dada dari dalam.
Boy merasakan bulu kuduknya berdiri. Teman-temannya tampak ketakutan, wajah mereka pucat. Bahkan pemimpin Naga samudera yang dari tadi tampak begitu arogan dan kuat, sekarang terlihat seperti anak kecil yang tertangkap mencuri.
"A-apa itu…?" bisik Badu sambil merapat ke Danu.
"Aku… aku gak tahu…" Danu menelan ludah.
Pemimpin Naga Samudera berusaha berdiri sambil menahan luka di dadanya. "Tidak… tidak… tidak! Dia tidak boleh bangun sebelum ritual selesai!"
"Ritual?" Boy memicingkan mata. "Ritual apa?"
Pemimpin itu tidak menjawab. Tatapannya terpaku pada kegelapan kuil seolah menunggu mimpi buruk muncul kapan saja.
DUKK…
Langkah itu menghentak tanah seperti memukul dada. Hutan seakan ikut bergetar.
DUKK…
Langkah kedua. Bayangan besar perlahan memperjelas bentuknya.
Mula-mula hanya siluet.
Lalu bentuk tubuh.
Lalu… mata—dua bola cahaya merah darah yang menyala seperti bara neraka.
"Tidak mungkin…" Pemimpin Naga Samudera terisak. "Segel… segelnya pecah…"
Boy melangkah maju, menahan rasa takut yang menekan dadanya. "Siapa kau?!"
Bayangan itu keluar dari kegelapan.
Sosok tinggi, sekitar tiga meter - memakai jubah hitam panjang yang tampak menyatu dengan kabut. Wajahnya tertutup topeng batu yang retak di bagian kanan. Dari celah topeng itu, terlihat kulit hitam berurat merah, seperti lava yang membeku.
Ketika ia berbicara, suara itu terdengar seperti gema dari ruang kosong.
"Boy… pewaris angin…"
Ia merendahkan kepala sedikit.
"Aku sudah lama menunggumu."
Sita mengangkat tongkatnya. "Siapapun kau—jangan dekat-dekat!"
Rani dan Danu memasang kuda-kuda, tapi lutut mereka gemetar.
Penguasa Bayangan mengabaikan semua itu.
Ia hanya mengulurkan tangan ke arah Boy.
"Kau… adalah darah terakhir dari Petarung Angin. Orang-orang yang dulu mengurungku… menghianatiku… dan meninggalkan dunia ini setelah menyegelnya."
Boy terbelalak.
Petarung Angin… menyegel makhluk ini?!
"Meng… mengapa Petarung Angin menyegelnya?" tanya Boy dengan suara bergetar.
Penguasa Bayangan tertawa rendah. "Karena aku… adalah sumber kekuatan mereka."
Semua orang tersentak.
"Apa?!" Badu memekik.
"Tidak mungkin!" Boy menolak mentah-mentah. "Kekuatan Petarung Angin berasal dari latihan, bukan kegelapan!"
Penguasa Bayangan mengangkat tangannya. Kabut hitam mengalir dari telapak tangannya seperti asap.
"Kekuatan angin tidak mutlak terang atau gelap. Ia menyesuaikan wadahnya. Petarung Angin dahulu menggunakan energiku… kecuali satu keluarga. Keluargamu, Boy."
Boy menggenggam tinjunya. "Jangan panggil aku seperti kau mengenalku!"
"Tentu aku mengenalmu," gumam makhluk itu.
"Aku bisa mencium darahmu dari jauh. Angin di sekitarmu… beresonansi denganku."
Saat ia melangkah, tanah di bawahnya retak.
"Dan kau…"
Ia mendekat.
"…adalah jembatan terakhir yang bisa membebaskanku sepenuhnya."
Boy mundur satu langkah. "Aku tidak akan menolongmu!"
Penguasa Bayangan berhenti, lalu tertawa kecil.
"Ingat, Boy. Kekuatanmu tidak bangun begitu saja. Kau merasakannya, bukan?"
Boy menahan napas.
Ia benar.
Dalam beberapa hari terakhir, kekuatannya tumbuh terus tanpa ia mengerti.
"Sumber kekuatanmu… adalah aku," ucap Penguasa Bayangan pelan.
"Angin yang mengalir di tubuhmu… adalah bagian dari kekuatanku yang terpaut pada darahmu."
Badu menggigil. "Jadi Boy dapat kekuatan gara-gara makhluk ini?!"
Rani menatap Boy dengan cemas. "Boy… kamu jangan dengerin dia…"
Penguasa Bayangan mengangkat tangan, dan bayangan melingkar di sekitar Boy.
Teman-temannya berteriak.
"BOY!!"
"Lari!!"
"Jangan dekat-dekat dia!"
Tapi Boy tidak bisa bergerak.
Bayangan itu seperti jaring yang menariknya mendekat. Tubuh Boy terasa berat. Suara angin memekakkan telinga, namun angin itu bukan miliknya - itu angin gelap.
Aroma besi dan darah memenuhi udara.
"Ayo, Boy…"
Penguasa Bayangan berbisik.
"Biarkan aku bangkit melalui tubuhmu…"
Boy menggeram, berusaha melawan.
"TIDAK! AKU TIDAK MAU KAU DI DALAM TUBUHKU!"
Tiba-tiba sebuah suara tajam memotong tegangnya suasana.
"LEPASKAN DIA."
Semua menoleh.
Dari balik pepohonan, muncul Master Raga.
Dengan tongkat kayu tua. Dengan mata penuh amarah. Dengan aura yang selama ini tidak pernah ia perlihatkan.
"M… Master…" Boy terisak.
Master Raga melangkah maju, wajahnya tegang.
"Sudah bertahun-tahun aku berharap ini tidak terjadi," ucapnya pelan. "Tapi sepertinya takdir tetap membawa kita ke sini."
Penguasa Bayangan mendongak. "Raga… penjaga terakhir Petarung Angin."
"Jangan panggil aku dengan gelar itu," Master Raga menatapnya tajam.
"Kau bukan apa-apa lagi selain bayangan kekuatan yang gagal kau kendalikan."
Penguasa Bayangan menggeram rendah. "Kau… yang memisahkan energi anginku dari keturunan klan itu…"
Master Raga mengangguk tegas.
"Betul. Aku memutus hubungan Boy darimu saat ia bayi. Agar ia bisa tumbuh sebagai manusia biasa. Bukan sebagai wadahmu."
Boy terkejut. "Master… jadi kenapa aku bisa punya kekuatan lagi?"
"Karena kau sudah cukup kuat untuk memanggilnya kembali," jawab Master Raga tanpa memalingkan mata dari Penguasa Bayangan.
"Kekuatanmu mulai terpanggil saat hatimu memutuskan untuk melindungi… bukan saat kau ingin jadi yang terkuat."
Boy terdiam, dada terasa hangat dan sedih sekaligus.
Master Raga mengangkat tongkatnya.
"Penguasa Bayangan… aku melarangmu menyentuh muridku."
Penguasa Bayangan tertawa sinis.
"Kau pikir tongkat kayumu bisa menghentikanku?"
Namun saat Kakek Wirya menusukkan tongkatnya ke tanah…
BRUUUUMMMM!!!
Tanah bergetar. Cahaya emas menyembur dari dalam tanah, membentuk lingkaran besar yang mengelilingi kuil.
Sita melongo. "Itu… segel?"
Badu menelan ludah. "Kakek Wirya segitu kuatnya…?!"
Penguasa Bayangan menjerit marah.
"Kau… mengaktifkan segel lama?!"
"Kau pikir aku bodoh membiarkanmu bangun sepenuhnya?" Master Raga membalas.
Cahaya emas membuat bayangan Penguasa Bayangan terpecah-pecah, seperti kabut yang tersambar matahari.
"BOY!" teriak Master Raga. "DENGARKAN AKU!"
Boy menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang harus kulakukan, Master?!"
Master Raga menunjuk dada Boy. "Ikuti angin di hatimu! Jangan biarkan angin gelapnya mengusikmu!"
Boy mengangguk, menutup mata.
Napas…
Fokus…
Ingat alasanmu bertarung…
Rani.
Sita.
Badu.
Danu.
Tegar.
Lily.
Teman-temannya.
Neneknya.
Master Raga.
Desanya.
Boy membuka mata.
Angin putih menyembur dari tubuhnya, meledak ke segala arah.
BRAAAGHHHH!!!
Bayangan yang menahan tubuhnya langsung hancur.
Penguasa Bayangan mendesis marah. "Pewaris menyedihkan! Kau tidak akan bisa menolak kekuatanku selamanya!"
Boy berdiri dengan tubuh yang dipenuhi cahaya putih.
"Aku bukan pewaris yang menyedihkan," ujarnya dengan suara rendah namun tegas.
"Aku Boy. Murid Master Raga. Pelindung desa. Dan…"
Ia mengepalkan tangan.
"Orang yang tidak mau ditentukan oleh bayangan sepertimu!"
Penguasa Bayangan berteriak, tubuhnya memanjang seperti kabut hitam yang mengamuk.
Master Raga mengangkat tongkat. "BOY! GUNAKAN TEKNIK TERAKHIRMU!"
"Aku belum punya..."
"Kau sudah punya! Kau hanya belum percaya!"
Boy memejamkan mata. Angin berputar. Cahaya putih menguat.
Dan ketika ia membuka matanya…
Sesuatu dalam dirinya menjawab.
Teknik itu keluar secara alami.
Boy menurunkan posisi tubuhnya, satu kaki di belakang, kedua tangan terbuka ke depan.
Angin putih mengalir…
berkumpul…
menggulung…
mengalir ke kedua telapak tangannya.
Master Raga tersenyum tipis. "Itu dia… teknik warisan Petarung Angin…"
Boy berteriak, mengeluarkan semua tekadnya.
"PUKULAN NAFAS ANGIN!!"
Cahaya putih meledak dari telapak tangannya.
ZWAAAARRRRR!!!
Angin itu menghantam Penguasa Bayangan tepat di dada.
Makhluk itu menjerit - jeritan yang menggetarkan seluruh Hutan Karang.
Cahaya bertabrakan dengan bayangan. Dunia menjadi putih.
Ketika cahaya mereda…
Penguasa Bayangan terdorong masuk kembali ke dalam kuil, tubuhnya terpecah menjadi serpihan bayangan.
"AARRGGHHH - KAU BELUM … MELI - "
BRUUUMMM!!!
Pintu kuil menutup. Segel emas muncul kembali. Suara makhluk itu menghilang.
Sunyi.
Hutan kembali tenang.
Tanah berhenti bergetar.
Boy jatuh berlutut, hampir pingsan.
"Boy!!" teman-temannya berlari menghampiri.
Rani dan Sita langsung menopang tubuhnya.
"Boy! Kamu gak apa-apa?!" tanya Rani dengan suara panik.
Boy tersenyum lemah. "Aku… capek banget…"
Badu tertawa gugup. "Astaga… kamu hampir dibawa setan raksasa, dan kamu cuma bilang capek?!"
Master Raga berjalan pelan mendekat, matanya lembut. "Kerja bagus, Boy."
Boy menatapnya, suara seraknya pecah. "Kek… aku takut…"
Master Raga mengelus kepala Boy.
"Tidak apa-apa. Kau melakukan yang bahkan para Petarung Angin dewasa pun tidak sanggup."
Boy terisak, menunduk.
"Apakah… dia sudah pergi?"
Master Raga menggeleng pelan. "Tidak. Dia hanya tersegel ulang. Dan segel itu… tidak akan bertahan selamanya."
Teman-temannya menatap satu sama lain, cemas.
"Ap… apa itu berarti ia akan bangun lagi?" tanya Rani.
Master Raga mengangguk.
"Ya. Dan saat itu tiba…"
Ia menatap Boy dalam-dalam.
" hanya Boy yang bisa menghentikannya."
Boy memandang kuil gelap itu, merasakan sesuatu bergetar dalam tubuhnya.
Rasa takut.
Rasa tanggung jawab.
Dan… tekad baru.
"Aku…" Boy berdiri perlahan, meski tubuhnya gemetar.
"Aku akan siap."
Master Raga tersenyum. "Aku tahu kau akan bilang itu."
Teman-temannya mengelilinginya, memberi dukungan.
Danu menepuk punggung Boy. "Kita bareng-bareng ya!"
Sita mengacungkan tinju. "Kita belum selesai!"
Badu tersenyum lega. "Aku percaya kamu."
Rani menunduk, wajahnya merah. "A… aku juga…"
Dan Boy menatap kuil sambil tersenyum tipis. "Perjalanan kita baru mulai."
Ia menatap langit gelap Hutan Karang…
dan untuk pertama kalinya, ia merasa angin menjawab panggilannya dengan lembut.
