Cherreads

Chapter 3 - Bab 2 - Pertemuan yang Tak Terduga

Sudut Pandang Aihara Satsuki

Bel pulang sekolah berbunyi. Suara kursi berderit dan langkah kaki memenuhi kelas. Aku menarik napas dalam, menutup buku catatan, dan mulai memasukkannya ke dalam tas. Baru saja aku hendak berdiri, Kaede datang menghampiri dengan senyum lebarnya yang khas.

"Satsuki! Gimana kalau kita pulang bareng? Baru-baru ini aku nemu toko manisan yang viral di SNS! Aku pengin kita kesana bareng setelah pulang. Gimana?"

Aku tersenyum kecil, tapi menggeleng pelan.

"Maaf, Kaede. Hari ini aku mau ke perpustakaan dulu. Mau pinjam buku referensi. Besok aku pasti ikut, janji."

"Eeeeehhh? Pokoknya besok harus jadi, ya! Janji!"

"Iyaaa, iya. Maaf ya, besok benar-benar deh."

Kaede mengembungkan pipinya sebentar, lalu tertawa.

"Yaudah. Aku pulang duluan, sampai jumpa besok, Satsuki!"

"Sampai jumpa besok juga, Kaede."

Setelah melihat Kaede pergi, suasana kelas kembali sepi. Aku merapikan tas sekali lagi sebelum berjalan keluar, menuju perpustakaan yang berada di lantai bawah. Di perjalanan, pikiranku terus memutar satu hal: kenapa kakak begitu menyukai sepak bola?

Dia bekerja sampai sore, lalu tetap berlatih dengan tim amatirnya hampir setiap malam. Aku sering bertanya, apa gak capek? apa nggak ribet bagi waktu?

Jawabannya selalu sama:

"Kalau kau sudah menemukan apa yang ingin kau lakukan dalam hidup, kau nggak akan melihat itu melelahkan. Itu cara menikmati hidup."

Aku masih belum sepenuhnya paham... tapi karena itu, hari ini aku ingin mencari tahu apa yang sebenarnya membuat sepak bola begitu menarik.

Sampailah aku di perpustakaan. Suasana tenang, aroma buku, dan cahaya sore yang masuk lewat jendela membuatku sedikit rileks. Aku langsung menuju meja petugas.

"Permisi, buku tentang olahraga, khususnya sepak bola, ada di rak mana ya?"

Penjaga perpustakaan siswi berkacamata dengan rambut dikepang dua, nametag-nya bertuliskan Kiriyama Haruno mengangguk cepat.

"Ah, baik. Mari saya tunjukkan raknya."

"Terima kasih banyak."

"Sama-sama."

Aku mengikuti Kiriyama-san melewati lorong-lorong rak hingga akhirnya sampai di bagian olahraga. Setelah dia kembali ke mejanya, aku mulai menyusuri deretan buku yang berjajar rapi. Ada strategi pertandingan, biografi pemain, sejarah sepak bola modern lebih banyak dari yang kubayangkan.

Hmm... buku apa yang cocok untuk pemula?

Aku meneliti beberapa judul, membolak-balik sampul, tapi semakin banyak kulihat, semakin bingung aku memilih.

Saat aku menggeser satu buku lagi, tiba-tiba seseorang berbicara tepat di sampingku.

"Aihara-san, lagi cari buku apa?"

Suara itu muncul begitu tiba-tiba dari samping, membuatku tersentak kecil. Begitu menoleh, aku melihat Amakawa-kun berdiri di dekat rak, memegang beberapa buku tebal seperti biasanya.

"E-eh? Ah... aku mencari buku yang menjelaskan dasar-dasar sepak bola."

Aku bahkan bisa mendengar degupan jantungku sendiri saat mengatakannya. Rasanya aneh sekali, mengaku pada seorang teman sekelas yang tidak begitu kukenal bahwa aku ingin mempelajari sesuatu yang sebenarnya... bahkan aku sendiri tidak yakin akan memahaminya.

Dia terdiam sejenak, tampak memproses jawabanku. Lalu tanpa berkata apa-apa, dia menggeser tangannya ke rak samping dan mengambil satu buku bersampul hijau.

"Oh begitu. Kalau begitu, coba yang ini."

Ia menyerahkan buku itu kepadaku. "Bahasannya ringan dan tidak banyak istilah rumit."

Aku menerima buku itu dengan kedua tangan. "Ah... terima kasih."

Baru kusadari aku menatapnya sedikit lama. Mungkin karena aku tidak menyangka ia akan langsung menolong tanpa bertanya macam-macam.

Dia menatap balik. "...Ada apa?"

"Tidak, hanya saja... aku terkejut. Amakawa-kun ternyata bisa bicara lancar juga. Di kelas kamu hampir tidak pernah berbicara."

"Serius? Padahal menurutku aku cukup sering bicara. Misalnya waktu orang yang duduk di depanku menjatuhkan barang, aku bilang 'punyamu jatuh', dan dia bilang terima kasih. Itu percakapan, kan?"

"Pfft..." aku buru-buru menutup mulut, tapi tidak berhasil. "Itu bukan percakapan. Itu cuma laporan singkat."

"Begitu ya..."

"Fufu... kamu orang yang lucu juga, Amakawa-kun. Terima kasih banyak sudah memilihkan buku ini."

"Sama-sama."

Untuk beberapa detik setelahnya, tidak ada yang bicara. Hanya suara AC perpustakaan dan gesekan kertas ketika seseorang di meja baca membalik halaman. Aneh sekali. Aku tidak tahu kenapa dadaku terasa sedikit hangat... mungkin karena aku tidak menyangka akan merasa nyaman berbicara dengan seseorang yang biasanya sangat pendiam.

Aku menurunkan pandangan ke buku yang baru saja ia berikan.

Entah kenapa, rasanya tangan dan pipiku sama-sama terasa lebih panas, aku takut terlihat aneh dan memutuskan untuk segera pulang.

Setelah aku berpamitan dengannya, aku segera menuju meja penjaga perpustakaan dan sedikit mempercepat langkahku.

-

Setelah aku keluar dari perpustakaan, aku menghela napas panjang dan mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berdebar cepat. Aku berhenti tepat di depan pintu dan bergumam pelan:

"Eeehhhh... apa tadi itu...?"

Aku masih memegang buku perpustakaan erat-erat, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja kulewati. Jantungku rasanya belum kembali normal.

Bagaimana bisa... aku ngobrol dengan Amakawa-kun?

Dan yang lebih aneh... dia yang memulai percakapan.

Benar-benar di luar dugaan.

Aku mulai berjalan di koridor perlahan, tetapi kepalaku masih penuh. Setiap langkah terasa agak ringan atau mungkin goyah karena aku masih mencoba memproses semuanya.

"...Haaaahhh."

Aku menghela napas panjang.

Rasanya wajahku panas setiap kali mengingat ekspresi tenangnya ketika ia menyodorkan buku itu.

Tapi yang paling mengejutkan justru satu hal.

Ternyata Amakawa-kun punya banyak pengetahuan tentang sepak bola.

Aku kira dia hanya murid pendiam yang tidak peduli klub atau kegiatan sekolah... tapi tadi, cara dia memilih buku sepak bola seperti itu judul yang bahkan aku belum pernah dengar benar-benar menunjukkan kalau dia serius.

Dan satu lagi... aku lupa menanyakan apa yang selalu dia coret-coret di bukunya akhir-akhir ini. Mungkin itu ada hubungannya?

Mungkin dia benar-benar sedang belajar sesuatu... atau punya kesibukan yang tidak aku tahu.

"Aduh... semakin kupikirkan, semakin penasaran jadinya."

Aku menepuk pipiku pelan, lalu mempercepat langkah.

"Yang jelas, sekarang aku ingin cepat sampai rumah dan membaca buku yang Amakawa-kun pilihkan."

---

Di Rumah

Begitu tiba di kamar, aku langsung meletakkan tas, duduk di meja belajar, dan membuka halaman pertama buku itu.

"...Oh."

Dalam beberapa menit, aku menyadari sesuatu.

"Benar juga yang dikatakan Amakawa-kun. Penjelasannya mudah dipahami."

Istilah-istilah sepak bola yang biasanya terasa asing, kali ini lebih... masuk akal.

Ada gambar, contoh situasi, dan bahkan penjelasan taktik dasar yang tidak terlalu rumit.

Alasanku mempelajari semua ini sederhana saja:

kakakku selalu membicarakan sepak bola mulai dari latihan, pertandingan, sampai gosip antarpemain.

Aku ingin bisa mengikuti ceritanya, meskipun sedikit.

Tapi...

"Beberapa minggu ini dia juga sering menceritakan tentang... 'anak laki-laki' itu."

Anak laki-laki yang jadi asisten pelatih di klubnya.

Anak laki-laki yang katanya seumuran denganku.

Anak laki-laki yang katanya "bikin latihan lebih efektif."

Jujur saja... aku cukup bosan mendengarnya.

"Kenapa sih dia selalu cerita tentang anak itu...?"

Aku menutup buku sebentar dan mengusap wajah.

Tapi sebelum pikiranku semakin jauh, suara ibu memanggil dari lantai bawah.

---

"Satsuki, makan malam sudah siap! Kakakmu juga sudah pulang!"

Aku menutup buku dan berdiri.

"Hei, aku belum selesai membaca..."

Tapi tidak ada pilihan.

Perutku juga sudah lapar, jadi aku turun ke ruang makan.

Seperti biasa, ayah sudah duduk, ibuku menata piring, dan kakakku... masih memakai jersey latihan lengkap dengan keringat yang belum kering.

Aku mengerutkan hidung.

"Kak, habis pulang latihan itu mandi dulu, dong. Bau keringatnya nyerang kesemua arah tau!"

Dia hanya tertawa lebar.

"Hahaha! Kamu belum paham ya, Satsuki. Justru laki-laki itu terlihat jantan saat habis latihan begini."

Aku menghela napas panjang untuk kesekian kali hari ini.

"Ayah, ibu, kalian nggak mau kasih tahu kakak soal kebiasaannya ini?"

Ayah mengangkat bahu sambil meraih sumpit.

"Hmm... ayah pernah coba bilang sih. Tapi kakakmu jawab begini: 'kalau pelatih bisa bau keringat, kenapa aku enggak?' Jadi ayah menyerah."

Ibuku menepuk meja pelan.

"Sudah sudah, kita makan dulu sebelum dingin. Bau keringat nanti dibicarakan belakangan."

Kakakku tertawa lagi, lalu mulai makan. Aku hanya bisa menggeleng.

Setelah suasana sedikit tenang, kakakku membuka topik baru.

"Oh iya! Kalian tahu enggak tadi di latihan, si asisten pelatih itu lho... makin keras saja. Benar-benar mirip pelatih Todoroki sekarang."

Haah.... kakak mulai membicarakan anak laki-laki itu lagi.

Aku menatap kakakku tanpa sadar.

"...Siapa sih sebenarnya anak laki-laki yang kakak maksud itu?"

...

-

Jumat Sesi Persiapan Taktik

Hari ini hari Jumat. Lapangan latihan sudah kosong, hanya menyisakan suara bola yang menggelinding pelan dan papan taktik yang masih berdiri di depan bangku pemain. Pelatih Todoroki berdiri sambil menyilangkan tangan, sementara aku duduk di kursi kecil membuka catatan analisis yang kubuat kemarin.

Kami sedang membahas satu masalah besar:

Siapa yang mengisi posisi bek tengah menggantikan Mashima-san, yang mendadak harus pergi untuk acara keluarga.

"Kalau dipaksakan tanpa Mashima, kita bakal rapuh di tengah," gumam pelatih sambil mengetuk magnet pemain dengan jarinya.

Aku mengangguk.

Mashima-san adalah pilar pertahanan kami. Di pertandingan besar seperti perempat final liga prefektur, kehilangan dia benar-benar terasa berat.

"Tapi kita nggak punya banyak pilihan," lanjutku. "Skuad kita memang tipis. Dari empat pemain cadangan, dua sudah diplot untuk flank dan satu lagi untuk lini tengah. Tidak ada bek tengah murni."

Pelatih menarik napas panjang.

"Kita harus putuskan sekarang."

Setelah berdebat hampir setengah jam, akhirnya kami sepakat:

Sasaki-san bek kanan akan digeser ke posisi bek tengah.

Dia masih muda, punya stamina, punya disiplin, dan cukup kuat dalam duel udara. Namun tetap saja, itu bukan posisi alaminya.

"Maaf, Tomoya. Kita harus menerima kondisi tim amatir," kata pelatih sambil tersenyum pahit. "Orang-orang di sini punya keluarga, pekerjaan... sepak bola bukan prioritas utama mereka."

Aku memahami itu.

Kadang kami kehilangan pemain karena lembur mendadak, mutasi kantor, atau acara keluarga. Itulah realitas tim amatir.

Namun untuk pertama kalinya dalam sejarah singkat klub, kami berhasil menembus perempat final. Tentu kami tidak mau berhenti begitu saja.

More Chapters