Cherreads

Chapter 2 - Bab 1 - Catatan Taktik

“...Ugh.”

Begitu mataku terbuka, langit-langit kamar tampak sedikit bergetar kabur. Tenggorokan kering. Aku pasti jatuh tertidur tepat setelah peluit akhir.

Kupijat pelipis sambil mendesah panjang.

“Kenapa aku begadang padahal ujiannya hari ini…”

Jawabannya jelas, pertandingan itu penting. Klub favoritku jarang sekali melaju sejauh ini. Biasanya ayah duduk di sebelahku sambil mengomentari taktik pelatih layaknya komentator tambahan. Tapi sekarang dia sedang dinas jauh di Sendai.

Alhasil, aku menonton seorang diri sambil berusaha membayangkan suara ayah setiap kali gelombang serangan terbentuk.

Aku bangkit, minum sedikit air, merapikan dasi seragam, lalu berangkat ke sekolah. Meski kurang tidur, kepalaku penuh ide taktik yang sempat muncul sebelum aku tertidur. Sambil berjalan aku mencoretkan beberapa skema pressing dan rotasi pemain di buku kecil yang selalu kubawa.

---

Di Kelas

Suasana kelas tidak berubah, bising dan dipenuhi topik yang rasanya tidak penting. Gosip, rencana kencan, game terbaru, drama klub. Aku duduk dan menatap soal ujian sambil menahan mata yang berat.

“...Masih aman.”

Biarpun begadang, otakku entah bagaimana masih berfungsi lumayan. Nilai-nilaiku memang tidak pernah luar biasa, tapi selalu konsisten stabil.

Saat istirahat tiba, aku membuka buku kosong dan mulai mencoret-coret, bukan PR, bukan catatan pelajaran, melainkan diagram pergerakan pemain.

Ini kebiasaanku sejak membantu Pelatih Todoroki di klub amatir itu. Saat menggambar panah dan garis-garis rute permainan, pikiranku tenang. Tidak ada suara kelas, tidak ada rumor, tidak ada basa-basi.

Hanya sepak bola.

Hanya kemungkinan.

---

Sudut Pandang Aihara Satsuki

Hasil ujian diumumkan hari ini.

Aku menatap lembar nilainya cukup lama sebelum akhirnya menghela napas kecil.

“…Lagi-lagi aku di bawah Amakawa-kun.”

Nilai ini bukan buruk. Aku bahkan berada di peringkat atas.

Tapi seperti biasa satu nama itu masih berada tepat di atas milikku.

Amakawa Tomoya.

Anak laki-laki yang lebih sering terlihat mengantuk daripada memegang pulpen.

Jarang bicara, jarang menunjukkan ekspresi, jarang terlihat peduli pada dunia sekitar.

Tidak ikut klub. Tidak punya lingkar pertemanan berarti.

Dari luar, dia terlihat seperti siswa yang tidak punya motivasi.

Tapi kenapa… nilainya selalu lebih tinggi dariku?

Sebelum aku bisa memikirkan jawabannya, seseorang memanggilku.

“Satsuki, kenapa kamu melamun begitu?”

Dia adalah Sato Kaede, temanku sejak SMP, yang berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang, dan memiliki ekspresi seperti orang yang tahu persis apa yang kupikirkan.

“Ah, tidak! Aku cuma… kakakku mengajak untuk menonton pertandingan klub sepak bolanya.”

Kaede menyipitkan mata.

“Hm~ begitu? Padahal kelihatannya kamu cuma kesal karena kalah dari Amakawa-kun lagi.”

“B-bukan…!”

Sayangnya, dia benar.

Kaede melirik ke barisan belakang kelas.

Amakawa-kun sedang menunduk, mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.

Sudah beberapa hari ini dia begitu, membuat diagram aneh yang tidak kupahami.

“Aneh ya,” gumam Kaede. “Dia biasanya cuma tidur di kelas. Tapi akhir-akhir ini sibuk sekali.”

“…Iya.”

Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan tujuan baru.

Aku juga… penasaran.

Tapi rasa penasaran itu hanya tersimpan diam-diam di sudut hatiku.

Lagipula… Amakawa-kun bukan tipe orang yang mudah didekati.

---

Setelah jam sekolah selesai, langit sudah berwarna jingga lembut. Masih ada waktu sebelum latihan malam di klub amatir selesai, jadi aku mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku referensi tambahan.

Perpustakaan cukup ramai karena minggu ujian.

Aku langsung menuju rak olahraga. Aku sudah hafal letaknya.

Saat hendak mengambil buku

“Hm?”

Ada seorang gadis berdiri tepat di depan rak buku sepak bola. Sepertinya ia kebingungan memilih.

Karena sekalian mengambil bukuku sendiri, aku menyapanya begitu saja.

“Aihara-san, lagi cari buku apa?”

Dia tersentak kecil dan menoleh.

“E-eh? Ah… aku mencari buku yang menjelaskan dasar-dasar sepak bola.”

Aku sampai terdiam satu detik.

Siswi yang benar-benar ingin mempelajari konsep sepak bola secara teori itu cukup langka. Biasanya kalaupun tertarik, hanya ingin tahu pemain populer.

“Oh begitu. Kalau begitu, coba yang ini.” Aku mengambil satu buku. “Bahasannya ringan dan tidak banyak istilah rumit.”

Dia menerima buku itu, menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil.

“…Ada apa?” tanyaku.

“Tidak, hanya saja… aku terkejut. Amakawa-kun ternyata bisa bicara lancar juga. Di kelas kamu hampir tidak pernah berbicara.”

“Serius? Padahal menurutku aku cukup sering bicara. Misalnya waktu orang yang duduk di depanku menjatuhkan barang, aku bilang ‘punyamu jatuh’, dan dia bilang terima kasih. Itu percakapan, kan?”

Dia menahan tawa.

“Pfft… itu bukan percakapan. Itu cuma laporan singkat.”

“Begitu ya…”

“Fufu. Kamu orang yang lucu juga, Amakawa-kun. Terima kasih banyak sudah memilihkan buku ini.”

“Sama-sama.”

Kami berdiri berdampingan beberapa menit lagi, memilih buku yang lain. Entah bagaimana, percakapan kecil tadi terasa alami.

Namun saat kami berpisah, satu pikiran muncul.

“…Aku lupa menanyakan kenapa dia ingin belajar tentang sepak bola.”

Setelah pulang sekolah, aku langsung menuju sebuah family restaurant yang berada tidak jauh dari lapangan tempat tim kami berlatih.

Aku sudah menjadi pelanggan tetap sejak SMP. Tempat yang nyaman dan suasananya yang hangat.

Begitu masuk, aroma makanan dan wangi kopi langsung menyambutku.

“Pesan nasi kari satu dan kopi hitam,” kataku pada pelayan yang sudah hafal pesananku.

Aku duduk di sudut dekat jendela, tempat favoritku setiap kali datang. Dari dalam tas, aku mengeluarkan buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan.

“Biomekanika Olahraga: Analisis Gerak Pemain Sepak Bola”

“Membaca Ruang & Struktur Taktik Modern”

“Filosofi Pressing: Dari Gegenpress Hingga High Block”

Tidak lama, makananku tiba.

Aku sebenarnya suka memasak, tapi saat jadwal padat seperti ini mau tidak mau aku makan di luar atau membeli bento dari minimarket. Ayah yang sering dinas ke luar prefektur membuatku terbiasa makan sendirian. Meski begitu… yah, sesekali rasanya ingin berbicara dengan seseorang sambil makan.

Setelah menghabiskan makanan, aku melanjutkan membaca buku-buku itu hingga waktu latihan.

---

Matahari sore mulai turun ketika aku tiba di lapangan. Beberapa pemain sudah berkumpul, sebagian lagi belum datang.

Tidak heran.

Tim ini isinya pekerja kantoran, buruh pabrik, supir truk, bahkan seorang chef restoran hotel. Latihan sore sering bentrok dengan jam lembur.

“Ada beberapa yang absen lagi, ya,” gumamku.

Ketika aku menurunkan tas, suara lantang memanggilku.

“Tomoya-kun!”

Todoroki-san melambaikan tangan. Dengan seragam latihannya yang lusuh dan topi tua yang entah berapa kali kena hujan, dia terlihat lebih seperti ayah para pemain daripada seorang pelatih amatir.

“Aku butuh data pertandingan pekan lalu,” katanya tanpa basa-basi.

“Kau sudah menyelesaikan analisisnya, kan? Aku ingin mencocokkannya dengan dataku.”

“Sudah, Pelatih,” jawabku sambil merogoh tablet dari tas. “Aku buat dalam tiga bagian: pola serangan, kecenderungan transisi, dan heatmap pemain.”

Todoroki-san mengangguk puas.

“Kau memang cepat. Benar-benar membantu.”

Kami berdiri tepat di pinggir lapangan, membandingkan hasil analisis. Beberapa poin kujelaskan pergeseran blok lawan, salah posisi gelandang bertahan kami saat transisi, dan celah yang bisa dimanfaatkan untuk pertandingan berikutnya.

Setelah membahasnya hampir sepuluh menit, dia menepuk bahuku.

“Bagus. Sekarang bantu aku pasang rintangan untuk latihan high pressing.”

“Baik.”

Aku mengambil kerucut latihan, menaruhnya sesuai instruksi. Para pemain mulai berdatangan satu per satu, beberapa di antaranya terlihat kelelahan setelah kerja.

“Yah, kalau aku pingsan, tolong bawa ke rumah sakit, Amakawa-kun!” teriak salah satu dari mereka sambil tertawa.

“Kalau jatuhnya di area penalti, mungkin aku ikut pertimbangkan untuk penalti dulu baru ambulans,” jawabku datar.

“Anak ini! Lihat? Sudah mulai seperti pelatih beneran!”

Suasana langsung cair.

Latihan dimulai: rondo, passing cepat, transisi sempit, dan pressing bergelombang. Aku berdiri di samping Todoroki-san, mencatat detail kecil siapa yang terlambat menutup ruang, siapa yang kehilangan fokus, siapa yang kehabisan tenaga duluan.

Kadang Todoroki-san bertanya cepat:

“Tomoya-kun, jalur mana yang mereka salah tutup?”

“Sayap kanan, Pelatih. Winger mereka terus menang duel.”

“Atur ulang! Ulangi simulasi!”

Latihan berlangsung hampir dua jam. Saat matahari benar-benar tenggelam dan langit berubah biru gelap, Todoroki-san akhirnya meniup peluit.

“Oke! Cukup untuk hari ini!”

Para pemain terduduk di rumput, kelelahan tapi puas.

Sementara itu, aku menutup buku catatanku. Ada banyak yang harus kurekap malam ini.

Todoroki mendekat, lalu bertanya dengan suara rendah.

“Kau tahu, Tomoya-kun… kalau kau terus seperti ini, suatu hari kau pasti bisa melampaui diriku.”

Aku terdiam sebentar. Tidak tahu harus menjawab apa.

Dia menepuk bahuku sekali lagi.

“Ayo pulang. Besok kita lanjutkan.”

Dan setelah semua orang pergi, aku berdiri sebentar di tepi lapangan yang mulai gelap.

Angin malam dingin.

Tapi entah kenapa, hatiku terasa hangat.

More Chapters