Pagi itu di kedalaman Silvaris Aeterna tidak dimulai dengan meditasi mana yang tenang atau suara merdu burung-burung hutan yang menyambut fajar. Pagi itu justru dimulai dengan sebuah dentuman keras yang sanggup mengguncang fondasi gubuk kayu tua milik Soran yang sudah miring.
KABOOM!
"RIAN! KEPARAT! KEGILAAN APA LAGI YANG KAU LAKUKAN PADA SARAPANKU?!"
Raungan Soran menggetarkan debu-debu yang menempel di langit-langit gubuk, membuat beberapa sarang laba-laba jatuh ke lantai. Di tengah dapur kecil yang kini dipenuhi oleh kepulan asap hitam yang tebal dan berbau sangit, Rian berdiri mematung dengan wajah dan pakaian yang tertutup jelaga hitam. Di tangan kanannya, ia memegang sebilah pisau dapur kecil yang kini bentuknya sudah bengkok dan tidak keruan lagi akibat tekanan energi yang terlalu besar. Di depannya, meja kayu kokoh tempat mereka biasa makan selama bertahun-tahun telah hancur berkeping-keping menjadi serpihan kecil, dan yang lebih tragis lagi, panci besi satu-satunya milik Soran kini memiliki lubang besar yang menganga di bagian dasarnya.
Rian berkedip pelan, mencoba menjernihkan matanya yang pedih terkena asap. "Aku... aku minta maaf, Guru. Aku hanya mencoba mempraktikkan kontrol halus dari teknik Deviant Strike pada wortel liar itu. Aku berpikir jika aku bisa memusatkan akumulasi energi dari empat bintangku hanya di ujung tipis pisau ini, aku bisa memotongnya dengan tingkat presisi molekuler..."
"Wortel?! Kau mencoba menggunakan teknik yang sanggup menghancurkan pilar batu granit pada sebuah wortel malang?!" Soran melangkah mendekat dengan langkah berat yang membuat lantai kayu berderit keras. Wajahnya memerah karena amarah yang campur aduk dengan rasa lapar yang amat sangat. Ia menunjuk ke arah panci yang kini sudah tidak berbentuk lagi dengan tangan yang bergetar. "Itu panci terakhir kita di hutan ini, Rian! Dan kau baru saja meledakkan sup kelinci yang sudah kumasak dengan penuh kesabaran selama tiga jam! Kau memang sudah memiliki empat bintang sekarang, tapi kapasitas otakmu sepertinya masih tertinggal jauh di level satu bintang!"
Rian hanya bisa terdiam membisu, membiarkan gurunya menumpahkan segala kekesalannya. Sifat konyol Soran yang sering kali meledak-ledak hanya karena urusan perut atau jatah arak yang terganggu selalu menjadi bumbu yang aneh dan kontradiktif di tengah-tengah latihan neraka yang mereka jalani. Namun, di balik kemarahan konyol itu, Rian sangat menyadari bahwa Soran sedang menekankan satu poin krusial yang paling sulit dikuasai oleh ksatria tingkat tinggi: kontrol. Memiliki empat Star Core dengan Mastery 100% adalah kekuatan yang dahsyat, namun tanpa kemampuan untuk menahan dan menyesuaikan output energinya, kekuatan itu hanya akan menjadi kutukan yang menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya, termasuk hal-hal sederhana dalam hidup.
"Bersihkan semua kekacauan yang kau buat ini, sekarang juga," ujar Soran tiba-tiba, suaranya berubah secara instan menjadi dingin, datar, dan tanpa emosi. Kemarahan konyolnya menghilang seolah tidak pernah ada, digantikan oleh aura otoritas ksatria legendaris yang membuat bulu kuduk Rian berdiri tegak. "Setelah itu, ambil pedang Iron-Bark barumu. Kita akan pergi ke sebuah tempat di mana kau tidak akan bisa hanya mengandalkan satu tebasan kuat yang membabi buta. Kita akan menuju ke Rawa Nyamuk Hitam."
Mendengar nama lokasi tersebut, jantung Rian berdegup sedikit lebih kencang di balik dadanya. Ia sangat mengenal reputasi wilayah tersebut meskipun jarang mengunjunginya. Rawa Nyamuk Hitam adalah salah satu "titik mati" yang paling dihindari di Silvaris Aeterna. Tempat itu bukan sekadar rawa biasa; ia adalah rumah bagi Black-Skeeter, serangga parasit purba yang tidak memburu darah makhluk hidup, melainkan memburu dan mengisap energi murni langsung dari Star Core korbannya melalui pori-pori kulit.
Perjalanan menuju wilayah rawa tersebut memakan waktu beberapa jam, menembus bagian hutan yang paling lebat dan berbahaya. Semakin jauh mereka melangkah ke arah selatan, sinar matahari semakin sulit untuk menembus kanopi pepohonan raksasa yang merapat seperti jemari monster yang sedang mencengkeram langit. Udara di sekitar mereka perlahan-lahan berubah menjadi sangat lembap, panas, dan membawa aroma belerang serta pembusukan yang menyengat hidung. Kabut abu-abu yang sangat tebal mulai menyelimuti kaki mereka, kabut yang bukan berasal dari penguapan air biasa, melainkan berasal dari akumulasi partikel Mana alam yang telah terkontaminasi oleh energi busuk rawa tersebut.
"Dengar baik-baik, Bocah," Soran memulai penjelasannya dengan nada instruksional sambil berjalan santai menembus lumpur hitam yang mulai terasa menghisap kaki mereka setiap kali melangkah. "Dunia di luar sana bukan hanya berisi ksatria-ksatria terhormat yang akan menunggumu dengan sabar sampai kau selesai memasang kuda-kuda tercantikmu. Sering kali, kau akan menemukan dirimu dikepung oleh ratusan prajurit rendahan yang haus darah atau gerombolan monster liar yang tidak lagi mengenal rasa takut ataupun rasa sakit. Jika kau hanya terpaku mengandalkan Deviant Strike, kau akan mati karena kelelahan setelah membunuh sepuluh atau dua puluh orang pertama, sementara sembilan puluh orang sisanya akan mencincang tubuhmu menjadi potongan daging kecil."
Mereka akhirnya berhenti di tepi sebuah genangan air hitam yang luas dan diam, di mana akar-akar pohon mencuat dari lumpur seperti tulang-belulang raksasa yang sedang membusuk. Di sana, sebuah suara dengungan rendah yang konstan mulai terdengar—suara yang berasal dari getaran ribuan sayap serangga yang bergerak serentak di balik kabut tebal.
"Teknik kedua dari arsipku: Soran Archive: Starfall Cascade," ujar Soran dengan nada yang dalam.
Ia mencabut pedang meteoritnya dari sarungnya dengan gerakan yang sangat halus. Dengan satu gerakan melingkar yang sangat indah, cepat, dan penuh estetika di atas kepalanya, Soran mengayunkan pedang tersebut dalam busur derajat yang sempurna. Rian, dengan penglihatan Mastery 100%-nya yang kini mampu memproses setiap partikel energi, melihat sebuah pemandangan teknis yang memukau sekaligus mengerikan. Kesebelas bintang di dalam tubuh Soran tidak lagi memusatkan seluruh energinya ke satu titik mata pedang seperti pada Deviant Strike. Sebaliknya, Soran memecah aliran energinya menjadi percikan-percikan kecil yang stabil dan menyebarkannya ke seluruh panjang bilah pedangnya. Saat pedang itu berputar cepat, sisa-saura aura peraknya dilepaskan ke udara dalam bentuk proyektil-proyektil tajam yang tak terhitung jumlahnya.
Syuut! Syuut! Syuut!
Tepat seratus sepuluh proyektil mana berwarna perak meluncur ke angkasa, membentuk busur sebelum menukik tajam dengan kecepatan luar biasa ke arah serumpun semak berduri yang dipenuhi oleh ribuan Black-Skeeter yang sedang bersembunyi. Ledakan-ledakan mana kecil terjadi secara beruntun dan simultan, menghancurkan setiap serangga dengan tingkat presisi yang mengerikan tanpa merusak tanah di bawahnya secara berlebihan.
"Prinsip utama dari teknik ini adalah kemampuanmu untuk membagi fokus kesadaran secara bersamaan," Soran menyarungkan kembali pedangnya. "Kau sekarang memiliki empat bintang di perutmu. Itu artinya, kau secara teknis harus mampu menciptakan empat puluh proyektil yang stabil secara bersamaan. Jika kau menciptakan kurang dari itu, energinya akan menjadi terlalu padat dan pergerakannya akan menjadi lambat. Namun jika kau mencoba menciptakan lebih dari itu, setiap proyektil akan kehilangan daya rusaknya dan menjadi terlalu lemah. Kau harus melepaskan mereka seperti hujan yang teratur dan mematikan, bukan seperti ledakan energi yang kacau dan tidak bertujuan."
Rian melangkah dengan hati-hati ke tengah-tengah lumpur hisap rawa tersebut, sesuai dengan perintah bisu dari gurunya. Ia merasakan beratnya tanah lumpur hitam yang mencoba menarik kedua kakinya ke bawah dengan tarikan gravitasi yang kuat. Rian dipaksa untuk terus-menerus mengalirkan mana secara halus ke telapak kakinya agar ia tetap bisa berdiri tegak di atas permukaan lumpur yang tidak stabil, sebuah tantangan tambahan yang sengaja diberikan oleh Soran untuk melatih konsentrasi gandanya.
BZZZZZZZZT!
Ribuan Black-Skeeter menyadari kehadiran mangsa baru yang kaya akan energi. Mereka bergerak serentak seperti awan hitam yang mendidih di udara, menutupi pandangan mata. Serangga-serangga ini memiliki ukuran sebesar kepalan tangan dengan jarum penyedot yang sangat tajam dan kuat. Rian mencoba memutar pedang kayu Iron-Bark-nya, mencoba meniru gerakan melingkar yang dilakukan Soran tadi.
"Soran Archive: Starfall Cascade!" teriak Rian dengan penuh tenaga.
Namun, kenyataan tidak semudah teori yang ia lihat. Yang keluar dari pedang kayunya hanyalah bola-bola mana biru tua yang tidak beraturan bentuknya. Beberapa di antaranya meledak terlalu cepat bahkan sebelum lepas dari pedangnya, hampir mengenai wajah Rian sendiri, sementara sisanya jatuh lemas dan padam ke dalam lumpur hitam tanpa berhasil mengenai satu pun nyamuk yang terbang lincah.
"Penyiram tanaman sialan!" ejek Soran dari pinggir rawa sambil bersandar pada sebuah pohon. "Kau terlihat seperti sedang mencuci piring di dapur daripada bertarung! Mana fokus tajammu, Rian? Kau sudah memiliki Mastery seratus persen, gunakanlah kemampuan otakmu untuk membagi kesadaranmu menjadi tepat empat puluh bagian yang berbeda!"
Nyamuk-nyamuk hitam itu mulai melakukan serangan pertama mereka. Rian merasakan jarum-jarum tajam itu mencoba menembus lapisan pertahanan mana yang menyelimuti kulitnya. Setiap kali seekor nyamuk berhasil mendekat dan menempel, Rian merasakan Star Core-nya seperti sedang disedot oleh sebuah kekosongan yang sangat dingin dan menyakitkan. Rasa lemas yang mendalam mulai menjalar ke tangan dan kakinya. Pandangannya mulai sedikit bergetar karena frekuensi sayap ribuan nyamuk tersebut mulai mengacaukan indra pendengaran dan keseimbangannya.
"Sial... ini jauh lebih sulit daripada yang terlihat," Rian mengertakkan giginya hingga berbunyi. Ia terperosok lebih dalam ke dalam lumpur hitam hingga sebatas lututnya karena konsentrasi mananya di kaki mulai goyah.
Ia memutuskan untuk menutup mata fisiknya, mengabaikan ribuan suara dengungan yang memekakkan telinga dan bau busuk rawa yang mencoba merusak fokusnya. Melalui penglihatan Aethel’s Veil yang kini bekerja di dalam kegelapan pikirannya, ia mulai membedah struktur energi dari setiap proyektil yang ingin ia ciptakan. Ia mulai menyinkronkan setiap putaran pedang kayunya dengan ritme detak jantung dari empat bintang safir gelapnya. Ia membayangkan di dalam benaknya bahwa setiap bintang yang ia miliki bertanggung jawab untuk menyuplai energi bagi tepat sepuluh proyektil mana yang stabil.
Satu... dua... tiga... lepaskan!
Rian mengayunkan pedang Iron-Bark-nya dalam gerakan busur melingkar yang sempurna dan bertenaga. Mana safir gelapnya yang pekat dan berat mulai terpecah di udara saat pedang itu berputar. Kali ini, proyektil-proyektil itu tidak berbentuk bola yang lemah, melainkan berbentuk jarum-jarum kristal biru tua yang sangat tajam, bercahaya, dan memiliki getaran frekuensi tinggi.
"Soran Archive: Starfall Cascade!"
Hujan meteor berwarna biru tua yang indah namun mematikan jatuh dari langit-langit hutan yang gelap gulita. Tepat empat puluh proyektil mana meluncur dengan pola zigzag yang sangat rapi dan terorganisir. Setiap kali proyektil itu menyentuh tubuh seekor nyamuk hitam, terjadi ledakan mana kecil yang sangat terkonsentrasi, menghancurkan seluruh struktur fisik serangga parasit tersebut hingga menjadi debu dalam sekejap tanpa merusak ekosistem di sekitarnya.
BOOM! BOOM! BOOM!
Awan hitam nyamuk yang tadinya menutupi langit rawa itu terbelah secara brutal. Dalam hitungan detik yang sangat cepat, ribuan Black-Skeeter yang tadinya sangat mengancam nyawa Rian berubah menjadi serpihan debu mana yang berjatuhan seperti salju hitam di atas lumpur. Rian berdiri terengah-engah di tengah rawa, pedang kayunya masih mengeluarkan asap tipis dan percikan energi safir akibat tekanan Mana yang baru saja ia lepaskan secara masif.
"Masih kasar, tapi lumayan untuk pemula," ujar Soran pendek dengan nada yang sedikit lebih lunak. Ia melangkah ke tengah rawa dengan santai, seolah-olah lumpur hisap itu tidak memiliki kuasa atas kakinya, dan menarik Rian keluar dengan satu sentuhan tangan yang sangat kuat. "Kau berhasil menciptakan jumlah proyektil yang tepat, sesuai dengan jumlah core-mu. Tapi kau masih terlalu banyak membuang mana yang berlebihan pada daya ledak akhirnya. Ingat, efisiensi adalah garis antara hidup dan mati bagi seorang ksatria yang hanya memiliki jumlah core sedikit sepertimu."
Rian duduk tersungkur di atas akar pohon besar yang sudah kering, mencoba mengatur napasnya yang terasa sangat sesak seolah oksigen di tempat itu telah habis. Penggunaan teknik serangan area atau AoE ini ternyata jauh lebih menguras stamina mental dan koordinasi otaknya daripada teknik Deviant Strike yang mengandalkan satu titik fokus. Membagi fokus kesadarannya menjadi empat puluh titik yang berbeda secara simultan dan menjaga kestabilan masing-masing titik tersebut terasa seperti sedang membelah otaknya menjadi berkeping-keping.
"Dunia di luar perbatasan Silvaris tidak akan pernah memberimu waktu sedetik pun untuk beristirahat dengan tenang seperti ini, Rian," Soran menatap jauh ke arah selatan, ke arah perbatasan hutan yang sudah mulai ia persiapkan sebagai pintu keluar bagi muridnya. "Teknik Starfall Cascade ini adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih bisa berdiri dan bernapas hari ini setelah dikepung oleh tiga batalion ksatria elit kekaisaran di masa laluku yang kelam. Ingatlah baik-baik rasa lemas saat manamu tersedot tadi. Itu adalah rasa kehadiran maut yang sebenarnya. Jangan pernah biarkan musuhmu mendekat cukup dekat untuk melakukan itu padamu."
Rian menatap kedua tangannya yang masih bergetar hebat akibat kelelahan saraf. Drama tentang perpisahan yang kian hari kian mendekat kembali menghimpit dadanya dengan rasa sesak yang berbeda. Ia melihat sosok Soran yang kini lebih banyak terdiam dan menatap langit, tidak lagi melakukan lelucon-lelucon kasar atau perilaku konyol seperti biasanya saat mereka sedang berada di tengah-tengah sesi latihan yang sangat serius. Ada sebuah rasa hormat yang tumbuh secara organik di antara mereka berdua saat ini, bukan lagi sekadar hubungan antara guru yang galak dan murid yang malang, melainkan hubungan antara dua orang petarung yang saling memahami beban takdir yang harus mereka pikul masing-masing.
"Guru," panggil Rian dengan suara yang hampir berbisik di tengah kesunyian rawa yang kini telah bersih dari nyamuk.
"Hmm? Ada apa lagi, Bocah?"
"Jika aku benar-benar pergi meninggalkan hutan ini nanti... apa yang akan kau lakukan sendirian di sini? Siapa yang akan memasakkan sup untukmu atau menghancurkan pancimu?"
Soran terdiam cukup lama, sebuah keheningan yang terasa sangat berat. Ia mengambil botol araknya yang sudah benar-benar kosong dan menatap ke dalam lubang botol tersebut dengan pandangan yang kosong dan melankolis. "Aku akan mencari panci baru yang jauh lebih kuat dari buatan manusia. Dan mungkin aku akan memutuskan untuk tidur selama sepuluh atau dua puluh tahun ke depan hanya untuk melupakan betapa merepotkannya memiliki murid yang keras kepala dan bodoh sepertimu."
Rian tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh dengan kesedihan. Ia tahu betul bahwa itu adalah kebohongan besar Soran untuk menyembunyikan rasa kehilangannya. Soran telah memberikan seluruh hidupnya, seluruh ilmunya, dan seluruh waktunya selama delapan tahun terakhir hanya untuk membentuk Rian menjadi seorang monster yang sanggup bertahan hidup di dunia luar.
"Ayo kita kembali ke gubuk," ajak Soran sambil berdiri tegak. "Malam ini kau memiliki tugas tambahan: kau harus memperbaiki meja makan yang kau hancurkan tadi pagi dengan tanganmu sendiri tanpa menggunakan mana sedikit pun. Dan besok pagi, kau harus mempersiapkan mental dan fisikmu untuk teknik ketiga yang jauh lebih menyiksa. Core Resonance akan membuat setiap sel di tubuhmu terasa seperti sedang dihancurkan dan disusun kembali oleh ribuan palu godam, jadi pastikan kau mengisi perutmu dengan banyak daging malam ini."
Rian bangkit berdiri, menyampirkan jubah hitamnya yang kini penuh dengan noda lumpur hitam rawa. Ia berjalan perlahan di belakang Soran, mengikuti setiap jejak langkah pria yang telah menyelamatkannya dan membentuknya menjadi seorang ksatria penyimpang. Hujan bintang yang baru saja ia lepaskan tadi masih membekas sangat kuat di dalam ingatannya—sebuah tarian maut yang indah sekaligus mematikan, yang akan menjadi salah satu senjata andalannya untuk menghadapi kerumunan musuh yang pasti akan ia temui di masa depan yang tidak diketahui.
Bab ini ditutup dengan bayangan kedua sosok manusia itu yang perlahan-lahan menghilang di balik kabut tebal Rawa Nyamuk Hitam yang kembali sunyi. Di atas permukaan lumpur yang kini kembali tenang, sisa-sisa energi dari proyektil safir gelap masih tampak berpijar redup dengan warna biru tua yang cantik, menandakan bahwa warisan teknik kedua dari Soran Archive telah berhasil ditanamkan dan diwariskan dengan sempurna kepada sang Penimbang Dunia yang baru.
