Cherreads

Chapter 17 - BAB 16: GETARAN FREKUENSI MAUT

Pagi itu, Rian tidak dibangunkan oleh suara ledakan atau teriakan amarah Soran. Sebaliknya, ia dibangunkan oleh rasa nyeri yang tumpul di sekujur otot lengannya. Ia terduduk di atas dipan kayunya, menatap tangannya yang dipenuhi luka gores halus dan memar biru. Di sudut gubuk, ia melihat tumpukan kayu Iron-Bark yang masih berantakan.

"Jangan hanya menatapnya, Bocah. Kayu-kayu itu tidak akan menyusun dirinya sendiri menjadi meja yang layak," suara Soran terdengar dari arah teras, diikuti oleh suara tegukan arak yang familiar.

Rian menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan di bahunya. "Guru, kau tahu kayu ini sekeras baja. Memperbaikinya dengan tangan kosong tanpa alat pertukangan sama sekali tidak masuk akal."

Soran muncul di ambang pintu, menyeringai dengan tatapan yang sangat menyebalkan. "Tidak masuk akal bagi ksatria amatir, mungkin. Tapi bagi ksatria yang akan mewarisi teknikku, ini adalah pemanasan. Kau sudah menghancurkan perabotan terakhirku dengan kontrol manamu yang payah itu. Sekarang, gunakan tanganmu untuk merasakan setiap serat kayu itu. Pukul mereka tepat di titik rasionya sampai mereka menyerah dan menyatu. Jika kau tidak bisa menyelesaikan meja itu dalam satu jam, kau tidak akan mendapatkan jatah makan siang."

Rian bangkit dengan langkah gontai. Selama satu jam berikutnya, gubuk itu dipenuhi oleh suara hantaman daging pada kayu yang terdengar seperti logam yang saling beradu. Soran duduk tidak jauh dari sana, mengejek setiap gerakan Rian. "Lembek! Kau memukul seperti bayi yang sedang merajuk! Mana getaran manamu? Jangan hanya memukul, kirimkan getaran itu menembus pori-pori kayu!"

Interaksi konyol ini, meski terasa menyebalkan bagi Rian, sebenarnya adalah sebuah instruksi terselubung. Saat Rian berhasil menyambungkan dua bilah kayu Iron-Bark hanya dengan hentakan telapak tangannya yang bergetar, ia merasakan sebuah sensasi aneh menjalar kembali ke lengannya—sebuah resonansi balik.

"Cukup," ujar Soran tiba-tiba, kemarahan konyolnya menghilang dalam sekejap saat ia melihat meja itu akhirnya berdiri tegak, meski bentuknya sedikit kasar. "Pemanasanmu selesai. Ambil pedangmu. Kita akan pergi ke tempat di mana kau akan belajar bagaimana caranya tidak menjadi siput di medan perang."

Mereka berjalan menuju arah timur, ke sebuah wilayah di mana suara gemuruh air terdengar sangat masif hingga menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. Tempat itu dikenal sebagai Air Terjun Gravitasi. Di sana, air tidak jatuh dengan anggun; ia jatuh dengan kemarahan yang luar biasa, seolah-olah ada tangan raksasa yang menarik setiap tetes air ke dasar jurang dengan kekuatan yang tidak wajar.

Atmosfer di sekitar air terjun itu terasa sangat berbeda. Begitu Rian melangkah masuk ke zona terluar, ia merasa seolah-olah ada beban ribuan kilogram yang tiba-tiba diletakkan di atas bahunya. Lututnya gemetar, dan ia terpaksa mengalirkan mana secara masif ke seluruh otot kaki dan punggungnya hanya untuk tetap berdiri tegak.

"Gravitasi di sini tiga kali lebih kuat dari normal, dan akan meningkat menjadi lima kali lipat di dekat pusat air terjun," Soran menjelaskan dengan santai, seolah ia tidak merasakan beban apa pun. "Di sinilah kau akan menguasai teknik ketiga: Soran Archive: Core Resonance."

Soran berdiri di tengah tekanan gravitasi yang luar biasa itu. "Teknik sebelumnya, Starfall, adalah tentang melepaskan energi keluar. Tapi Core Resonance adalah kebalikannya. Kau harus menarik kembali mana yang biasanya meluap dari empat bintangmu, memasukkannya ke dalam sel tubuh, saraf, dan pembuluh darahmu. Kau menciptakan getaran frekuensi tinggi yang sinkron dengan rotasi Core-mu."

Soran memberikan demonstrasi. Seketika, tubuhnya mengeluarkan suara dengungan rendah yang sangat stabil, mirip dengan suara lebah raksasa. Udara di sekitar Soran tampak bergetar hebat. Dalam sekejap, Soran menghilang dan muncul kembali di sisi lain air terjun yang jaraknya lima puluh meter. Gerakannya begitu cepat hingga meninggalkan bayangan perak yang masih tertinggal di posisi awalnya.

"Sepuluh persen peningkatan kecepatan dan reaksi untuk setiap Star Core. Kau punya empat bintang, maka kau harus bergerak empat puluh persen lebih cepat dari batas maksimal fisikmu. Jika kau gagal menyinkronkan getarannya, ototmu akan robek dan pembuluh darahmu akan meledak dari dalam karena tekanan frekuensi yang tidak stabil."

Rian melangkah lebih dekat ke pusat gravitasi. Ia mulai mencoba menarik energinya kembali. Begitu mana safir gelapnya masuk kembali ke dalam sel tubuhnya, Rian menjerit tertahan. Rasanya seperti ribuan jarum panas sedang menusuk setiap inci kulitnya dari dalam. Pembuluh darah di lengannya menonjol keluar, bergetar dengan frekuensi yang tidak beraturan.

"Tetap fokus, Rian! Jangan biarkan getarannya pecah!" teriak Soran di tengah gemuruh air.

Di saat yang sama, Soran melepaskan sebuah kotak kayu kecil. Dari dalamnya, keluar sepuluh ekor Glass-Winged Dragonflies. Capung-capung ini memiliki sayap transparan setajam silet dan tubuh perak yang berkilauan. Mereka mulai terbang dengan gerakan zigzag yang tidak masuk akal, berpindah tempat secepat kilat dengan getaran sayap frekuensi tinggi mereka.

"Tangkap sepuluh ekor itu hidup-hidup, Rian. Jangan sampai ada satu pun sayap yang patah. Jika kau bergerak dengan kecepatan normal, kau tidak akan pernah menyentuh mereka. Kau harus menyamai frekuensi mereka dengan resonansimu sendiri."

Rian mencoba mengejar satu capung, namun tubuhnya terasa sangat berat karena gravitasi. Saat ia mencoba mempercepat gerakannya dengan resonansi yang belum stabil, ia justru kehilangan keseimbangan dan menghantam batu granit di sampingnya dengan keras. Darah mulai mengalir dari dahinya, bercampur dengan air terjun yang dingin.

"Sial..." Rian terengah-engah. Ia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang, mencoba mengimbangi rotasi empat core-nya yang kini berputar dalam mode resonansi.

Setiap kali ia hampir menyentuh seekor capung, monster kecil itu merasakan riak udara yang diciptakan Rian dan berpindah tempat secara instan. Rian menyadari bahwa ia tidak bisa menangkap mereka dengan tenaga murni. Ia harus menjadi "diam" di tengah getaran.

Rian berdiri mematung di tengah zona gravitasi 4x. Ia memejamkan matanya, membiarkan Mastery 100%-nya membedah frekuensi sayap capung-capung di sekitarnya. Ia mulai menyesuaikan getaran di dalam sel tubuhnya. Ia menarik napas dalam, memaksa empat bintang safir gelapnya berputar pada frekuensi yang sama persis.

Buzz... Buzz...

Suara dengungan mulai keluar dari tubuh Rian. Warna biru pekat menyelimuti kulitnya. Untuk pertama kalinya, rasa sakit yang menyiksa itu berubah menjadi sensasi mati rasa yang dingin. Dunia di sekitar Rian seolah-olah melambat. Ia bisa melihat setiap getaran kecil pada sayap kaca capung-capung itu. Ia bisa melihat struktur udara yang terbelah saat mereka berpindah tempat.

Sekarang!

Rian melesat. Gerakannya kali ini tidak lagi menciptakan hambatan udara yang besar. Ia meluncur seperti bayangan biru yang membelah gravitasi. Dalam satu rangkaian gerakan yang sangat halus dan sangat cepat, tangan Rian bergerak sepuluh kali dalam satu detik.

Hap! Hap! Hap!

Sepuluh ekor Glass-Winged Dragonflies kini berada di dalam genggaman lembut kedua tangannya. Ia menangkap mereka tepat di bagian tubuh mereka, tanpa merusak satu milimeter pun sayap kaca mereka yang rapuh. Rian mendarat di atas bebatuan licin dengan posisi berlutut, napasnya sangat pendek dan cepat.

Resonansi di tubuhnya mulai memudar seiring dengan matinya teknik tersebut. Begitu energinya kembali normal, rasa sakit yang luar biasa menghantam Rian secara simultan. Ia ambruk ke atas lumut, seluruh ototnya terasa seperti diputar dan diperas habis-habisan. Ini adalah efek Core Crash, kelelahan ekstrem akibat memaksakan sel tubuh bekerja di luar batas biologis.

Soran berjalan mendekat, menatap muridnya yang terkapar tidak berdaya. Ia mengambil satu capung dari tangan Rian yang masih mengepal, lalu melepaskannya kembali ke udara. "Kecepatan empat puluh persen... Kau berhasil mencapainya, Rian. Tapi lihatlah dirimu sekarang, kau tidak lebih dari seonggok daging yang tidak bisa bergerak."

Soran duduk di samping Rian, mengeluarkan botol araknya. Kali ini, ia tidak meminumnya sendiri. Ia meneteskan setetes cairan bening dari botol itu ke mulut Rian. Cairan itu terasa sangat dingin, namun seketika meredakan ketegangan saraf Rian yang hampir putus.

"Teknik ini adalah pedang bermata dua," suara Soran terdengar sangat serius, jauh dari sifat konyolnya. "Di dunia luar, ksatria lain akan menggunakan ramuan atau sihir untuk meningkatkan kecepatan mereka. Tapi kita ksatria penyimpang, kita menggunakan tubuh kita sendiri sebagai tungku pembakaran. Ingatlah sensasi ini. Jangan pernah mengaktifkan resonansi jika kau tidak yakin bisa mengakhiri pertarungan dalam waktu singkat."

Rian menatap langit dari dasar Air Terjun Gravitasi. Awan-awan di atas sana bergerak sangat lambat di matanya, sebuah sisa dari persepsi resonansi yang masih tertinggal. Ia merasakan sebuah kesedihan kecil menyusup di sela-sela rasa sakitnya. Ia melihat Soran yang kini juga tampak lelah. Perban di perut Soran masih ada, dan pria tua itu tidak lagi sekuat dulu saat pertama kali Rian mengenalnya delapan tahun lalu.

"Guru," panggil Rian dengan suara parau.

"Apa lagi?"

"Kenapa kau mengajariku semua ini? Kau bisa saja membiarkanku mati di hutan ini delapan tahun lalu."

Soran terdiam cukup lama, hanya suara gemuruh air terjun yang mengisi kekosongan di antara mereka. Ia menatap telapak tangannya sendiri yang sudah dipenuhi kapalan. "Karena dunia ini butuh seseorang yang bisa melihat titik rasio di tengah semua kegilaan ini, Rian. Dan karena aku ingin melihat, sejauh mana monster kecil yang kubentuk ini bisa mengacaukan rencana orang-orang sombong di luar sana."

Soran berdiri dan menarik Rian untuk bangkit. "Ayo pulang. Besok adalah teknik keempat. Celestial Parity. Kau sudah belajar menyerang dan bergerak, sekarang kau harus belajar bagaimana cara agar tidak mati saat seseorang yang lebih kuat darimu mencoba menghancurkan kepalamu."

Rian berjalan tertatih-tatih di belakang Soran, meninggalkan Air Terjun Gravitasi yang masih menderu. Tubuhnya mungkin hancur hari ini, namun ia tahu bahwa kecepatannya telah mencapai level yang baru. Ia bukan lagi ksatria yang hanya bisa menunggu musuh datang; ia adalah badai safir gelap yang siap menerjang siapa pun sebelum mereka sempat berkedip.

Bab ditutup dengan bayangan mereka berdua yang perlahan menjauh dari tebing. Di belakang mereka, capung-capung sayap kaca kembali beterbangan di antara uap air terjun, memantulkan cahaya matahari senja yang berwarna keemasan, seolah-olah memberikan penghormatan terakhir pada latihan keras sang calon legenda.

More Chapters