Kamar Elior diselimuti cahaya lampu meja yang redup. Di atas mejanya, sebuah buku tergeletak — tebal, berdebu, dengan judul Peak of Soul.
Ia memandanginya cukup lama sebelum membuka halaman pertamanya.
Tulisan di dalamnya padat, kalimatnya berat. Ceritanya tentang seseorang yang dianggap terkutuk karena kekuatan yang tak ia minta. Dunia menolaknya, orang-orang mengkhianatinya, dan ia berjalan sendirian di antara pandangan yang penuh kebencian.
Beberapa menit berlalu, dan huruf-huruf di halaman itu mulai menari-nari di depan mata Elior. Ia menguap, lalu mengusap wajahnya.
"Slow banget… dan ribet," gumamnya pelan. Ia menatap langit-langit kamar. "Mereka suka hal kayak gini? Padahal cuma cerita."
Rasa kantuk menyerangnya lebih cepat dari yang ia duga. Buku itu masih terbuka di atas dadanya ketika matanya terpejam.
Lalu—
Cahaya.
Begitu matanya terbuka, ia berdiri di tempat asing. Hamparan cahaya putih membentang tanpa batas, terlalu terang sampai matanya perih. Ia menutupi wajahnya dengan tangan, mencoba mencari arah, tapi semuanya memantulkan cahaya yang sama.
Dari kejauhan, tiga sosok muncul, perlahan mendekat. Ia tidak bisa melihat wajah mereka — hanya siluet samar yang bersinar lembut. Sosok di tengah berbicara, suaranya bergema lembut namun tegas.
> "Teruslah membaca."
Elior terdiam, bingung. "Membaca? Untuk apa? Aku bahkan tidak mengerti isinya."
Ia ingin terdengar sopan, tapi suaranya malah terdengar seperti protes lembut. Anehnya, ia merasa tenang, seolah tempat ini menelan segala emosi negatifnya.
> "Pelan-pelan saja," kata sosok di tengah itu lagi. "Kau akan mengerti nanti."
Elior mencoba melihat wajahnya, tapi cahaya itu terlalu kuat. Dua sosok di sampingnya ikut menatap Elior dan... tersenyum, atau mungkin hanya ia yang merasa begitu.
> "Jangan berhenti, Elior."
"Cerita akan membimbingmu."
Dan sebelum sempat ia bertanya lagi, cahaya itu meledak lembut—dan semua menghilang.
---
Elior terbangun dengan jantung berdebar pelan. Cahaya pagi menyelinap lewat tirai. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil menatap buku Peak of Soul yang masih terbuka di meja.
"Mimpi... ya?" gumamnya. Tapi anehnya, rasa kantuknya benar-benar hilang. Ada sesuatu dari mimpi itu yang membuatnya ingin tahu lebih.
Ia mengambil buku itu, menatap sampulnya lama, lalu memutuskan untuk membawanya ke sekolah. Entah kenapa, ia merasa buku itu… penting.
Namun hari itu, sesuatu terasa aneh sejak awal.
Kael tidak terlihat di kelas. Bahkan Nolan pun tidak ada.
"Apa mereka sedang bersenang-senang?" pikir Elior sambil menghela napas. Tapi ketika ia menoleh, gurunya masuk dan dengan santai berkata, "Kael izin hari ini. Sudah disetujui kepala sekolah."
Elior menatapnya tak percaya. "Kepala sekolah… menyetujui langsung?"
Tak ada yang menjawab.
Sepanjang hari, orang-orang menanyainya tentang Kael.
"Elior, Kael kenapa gak masuk?"
"Dia sakit, ya?"
"Dengar-dengar dia dapet izin khusus, bener gak?"
Elior hanya menjawab singkat. "Aku gak tahu."
Tapi rasa penasaran mereka seperti tak ada habisnya. Sampai akhirnya, di jam istirahat, ia harus sembunyi di perpustakaan agar tidak ditanyai lagi.
Ketika bel pulang berbunyi, ia langsung berlari keluar sekolah.
"Kael populer banget ya... gak masuk sehari aja bisa heboh," katanya lelah sambil melempar tas ke kursi kamarnya.
Ia menatap novel di mejanya.
Rasanya ingin tidur. Tapi... ada suara kecil di kepalanya.
> "Teruslah membaca."
Elior memejamkan mata rapat-rapat. "Halusinasi," bisiknya. Tapi suara itu datang lagi—lebih pelan, seperti bisikan lembut.
> "Jangan berhenti."
