Hari itu seharusnya sama seperti malam-malam sepak bola lainnya.
Kafe kecil di pinggir jalan dekat stasiun Kōfu tempat aku dan ayah selalu menonton pertandingan J-League terlihat penuh seperti biasa, suara komentator TV, aroma ayam goreng, dan teriakan para suporter bercampur menjadi suasana yang sudah seperti rumah kedua bagiku.
Namun, malam itu berbeda.
Kursi di sebelahku kosong.
Kursi yang biasanya ditempati ayah, dengan jas kerjanya yang bau kopi dan senyum lelah setelah pulang kerja, kini hanya menyisakan tatakan gelas kosong, ayah sedang berada di Sendai untuk tugas dinas jangka panjang entah sampai kapan.
Aku menatap kursi itu cukup lama, sampai seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.
“Maaf nak, kursi ini kosong?”
Aku menoleh, pria paruh baya dengan rambut hitam sedikit memutih, postur tegap, dan mata tajam seperti seseorang yang terbiasa memimpin ruang ganti. Dia membawa segelas bir, wajahnya letih tetapi antusias seperti anak kecil yang menunggu kick-off.
“Iya, silakan” jawabku.
Dia duduk. Dan tanpa menoleh sekalipun, dia langsung berkomentar soal formasi tim.
“Tim lawan memainkan formasi 4-4-2 narrow, kalau sayap kita naik terlalu tinggi, lini tengah bakal bolong, Pelatih harusnya sudah sadar itu dari awal.”
Aku refleks menjawab.
“Sebenarnya bukan salah formasi, bek kirinya terlalu maju, dia harus lebih sabar nunggu momen cutback, bola second chance-nya pasti jatuh ke lawan kalau ritme mereka terlalu cepat.”
Pria itu menoleh perlahan.
Seolah baru sadar bahwa anak SMA dengan hoodie lusuh dan rambut acak karena aku tak repot-repot menata baru saja menjelaskan taktik sekelas analis profesional.
“…Kamu, anak SMA kan?” tanyanya datar.
“Kayaknya begitu,” jawabku santai.
Dia tertawa keras.
“Berani juga ngomong begitu, tapi analisismu benar.”
Pertandingan berjalan. Kami berdua sibuk debat formasi, membaca pola permainan, dan mengoreksi kesalahan pemain seperti dua komentator yang lupa minum, aneh, rasanya aku bisa bicara bebas tanpa takut salah paham atau drama sosial seperti di sekolah.
Di sini, aku bukan Amakawa Tomoya si murid pendiam, aku hanya seorang pecinta sepak bola seperti ayah.
Dan pria yang duduk di kursi ayah itu terasa terlalu cocok dalam perannya.
Saat peluit akhir berbunyi, dia meraih tasnya dan berdiri.
“Namaku Todoroki Shigeru. Aku pelatih Yatsugatake FC,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Senyum kecil terukir di wajahnya. “Kami bermain di Liga Prefektur Yamanashi.”
“Kau punya otak sepak bola yang bagus, datanglah ke latihan besok, aku ingin lihat sejauh apa naluri taktikmu.”
Aku menatap tangannya beberapa detik, ragu.
Lalu menjabat tangannya.
Dan malam itu dengan satu kursi kosong dan satu kesempatan tak terduga hidupku berubah arah.
