Angin pagi menyapu halaman pondok latihan. Embun yang menempel di rumput berkilau bagai serpihan kaca, sementara matahari baru muncul sedikit di balik bukit. Namun ketenangan alam itu sama sekali tidak mencerminkan apa yang akan terjadi.
Boy berdiri di tengah halaman dengan napas berat. Punggungnya basah oleh keringat, lututnya bergetar, dan tangannya penuh goresan merah. Namun matanya tetap menatap ke depan tanpa ragu.
Master Raga berdiri beberapa langkah di hadapannya, tidak berkeringat sedikit pun.
"Sekali lagi," kata Master Raga tegas.
Boy mengangguk, lalu kembali memasang kuda-kuda.
Dari kejauhan, Baru dan Danu memandangi latihan itu dengan campuran antara kekaguman dan ngeri.
"…Master Raga sudah membuatnya latihan sejak subuh," kata Badu dengan mata melebar.
"Lebih tepatnya," Danu menambahkan, "sejak sebelum subuh."
Sita yang duduk di pagar bambu hanya menggumam, "Hmph. Kalau dia menyerah cuma segitu, dia gak pantas nyari jawaban tentang ayahnya."
Namun tatapan matanya tak bisa menutupi kegelisahan di wajahnya.
Sementara itu Rani berdiri dekat batang pohon besar, tangan gemetar memegang sapu tangan putih kesayangannya. Setiap kali Boy jatuh, Rani ikut menahan napas.
Hari pertama latihan dimulai dengan pelatihan dasar, yang sebenarnya bukan dasar sama sekali.
Master Raga memegang dua batang kayu panjang. Ia melompat dan menyerang Boy dari berbagai arah, secepat angin.
Tak! Tak! Tak!
Boy menangkis dengan tongkatnya, tapi tubuhnya terpental ke tanah berkali-kali.
"Bangun," kata Master Raga.
Boy bangkit. Serangan kembali datang.
"Lihat tubuhku, bukan tongkatku."
Boy berusaha fokus.
"Rasakan gerakanku, bukan pukulanku."
Boy menahan napas.
"Dengar napasku, bukan langkahku."
Dan akhirnya… untuk pertama kalinya…
PLAKK!
Boy menangkis satu serangan tanpa melihat tongkat itu.
Master Raga tersenyum tipis. "Bagus."
Boy jatuh terduduk. "Master… ini baru hari pertama…"
Master Raga menatapnya tajam. "Tiga hari bukan waktu untuk menjadi kuat. Tiga hari adalah waktu untuk memaksa tubuhmu mengingat apa yang diwariskan ayahmu."
Boy membulatkan mata. "Maksud Master… aku punya teknik khusus dari ayah?"
Master Raga tidak langsung menjawab.
Ia hanya berkata, "Kau akan mengetahuinya ketika waktunya tepat."
Hari kedua lebih parah. Latihan lari mengelilingi bukit berkali-kali, punching stance tanpa henti, hingga Boy kehabisan napas dua kali dan hampir pingsan.
Sita yang awalnya mengejek, lama-lama ikut berlari agar Boy tidak tertinggal.
"NAFAS BOY!! JANGAN DISIMPEN DI KANTONG!" teriak Sita sambil mendorongnya agar bangkit.
Badu dan Danu membawa air, meski keduanya juga kelelahan hanya dengan melihat Boy berlari.
Bahkan Rani yang biasanya pendiam ikut memberi dukungan.
"Ayo Boy… kamu pasti bisa…"
Boy selalu bangkit karena mereka.
Hari ketiga… adalah latihan yang paling aneh.
Master Raga membawa Boy ke belakang pondok, di mana ada mata air kecil yang jernih. Airnya dingin, hampir membeku.
"Celupkan tanganmu," perintah Master Raga.
Boy memasukkan tangan ke air. Seketika rasa dingin menusuk sampai ke tulang.
"Kau harus menahan tanganmu di sana sampai kau bisa merasakan 'aliran hidup' di dalam air."
"Aliran… hidup?"
Master Raga mengangguk. "Ayahmu bisa merasakan energi di sekitarnya—di air, angin, tanah. Itu kekuatan Naga Samudra. Bukan teknik yang bisa diajarkan. Hanya bisa disadari."
Boy mencoba berkonsentrasi.
Menit demi menit berlalu. Tangannya makin mati rasa. Nafasnya mulai bergetar.
"Fokus… bukan pada dinginnya," kata Master Raga, "tapi pada gerak air."
Air mengalir perlahan di antara jarinya.
Pelan…
Lambat…
Namun tiba-tiba Boy merasakan sesuatu.
Sebuah getaran kecil.
Lalu aliran lembut.
Seakan ada energi yang menggelitik ujung jarinya.
Tubuhnya refleks tegang.
"Aku… merasakannya…"
Master Raga membuka mata dengan raut bangga.
"Itu… adalah langkah pertama teknik Nafas Samudra. Kau mungkin belum bisa menggunakannya, tapi kau sudah mulai merasakan apa yang dulu dirasakan ayahmu."
Boy menatap telapak tangannya, terkejut sekaligus bingung.
"Ayah… seperti ini rasanya?"
Hatinya bergetar.
Malam terakhir sebelum keberangkatan, Boy duduk di beranda rumah bersama neneknya yang tengah menyiapkan ramuan hangat.
"Kau sudah pasti?" tanya neneknya.
Boy menatap ke langit gelap. "Kalau aku tidak pergi… aku tidak akan pernah tahu siapa aku."
Neneknya menyentuh pundak Boy. "Kalau begitu… bawalah ini."
Ia memberikan Boy sebuah benda kecil yang terbungkus kain.
Boy membukanya.
Di dalamnya ada liontin kayu berbentuk naga kecil, sangat mirip dengan simbol yang ada di gulungan ayahnya.
"Ini milik ayahmu," kata neneknya. "Dia membawanya kemana pun ia pergi."
Boy memegang liontin itu erat-erat.
"Terima kasih, Nek…"
Air mata hampir muncul, tapi Boy menahannya.
Ia tidak boleh goyah sekarang.
Di luar pagar, Badu, Danu, Sita, dan Rani sudah menunggu. Mereka ingin memastikan Boy siap.
"Kalau kau mati," Sita mengancam sambil lipat tangan, "aku bakal hantui kau sampai kau hidup lagi."
Badu mengacungkan buku. "Aku udah bikin 12 strateginya! Tapi… semuanya gak masuk akal."
Danu menunduk. "Boy… hati-hati, ya."
Rani menggenggam sapu tangan putihnya, menatap Boy dengan mata yang berkaca-kaca.
"…Jangan pergi kalau kamu belum siap."
Boy menatap mereka satu-satu.
"Aku punya kalian," katanya lembut.
"Aku siap."
Tepat tengah malam, Boy berdiri di depan gerbang desa. Angin dingin membawa kabut tipis yang menyelimuti jalan menuju Bukit Bayangan.
Master Raga berdiri di belakangnya. "Ingat, Boy… apa pun yang terjadi nanti, jangan biarkan amarah mengendalikanmu."
Boy mengangguk.
Master Raga lalu meletakkan tangan di bahunya.
"Pergilah. Takdirmu menunggu."
Boy menarik napas panjang…
…dan melangkah ke dalam kabut.
Menuju Bukit Bayangan.
Menuju sosok berjubah hitam.
Menuju kebenaran tentang ayahnya.
Dan menuju masa depan yang tidak pernah ia duga.
