Hutan Karang selalu memiliki reputasi menyeramkan. Di siang hari, pepohonannya terlihat seperti rangka-rangka gelap yang berdiri dalam barisan rapat. Di malam hari, konon suara-suara aneh menggema dari dalamnya—tawa, bisikan, bahkan langkah kaki yang tidak pernah terlihat pemiliknya. Namun bagi Boy, malam itu tidak ada pilihan selain melewatinya.
Ia, Sita, Rani, Badu dan Danu berdiri di tepi hutan tersebut. Di kejauhan masih terlihat dinding merah Senja Dragon yang baru saja dirubuhkan oleh para murid Master Raga. Namun kemenangan itu terasa hambar karena satu hal: ketua Kelompok Naga samudera belum terlihat.
"Boy… kita yakin harus masuk lewat sini?" tanya Rani, suaranya kecil namun penuh kekhawatiran.
"Jejaknya masuk ke dalam," sahut Badu sambil berjongkok memeriksa tanah. "Lihat ini. Ada bekas pijakan kaki besar. Ini bukan tapak hewan."
Danu menelan ludah. "Kenapa mereka masuk hutan serem begini? Mau bunuh diri?"
"Justru karena tempat ini serem, makanya mereka pakai buat markas," gumam Sita.
Boy tidak menyahut. Tatapannya lurus ke dalam kegelapan hutan. Sejak pertempuran di Senja Dragon, ia merasa aneh… seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari jauh. Seperti gemerisik suara yang tidak berasal dari angin. Suara yang hampir seperti… nama dirinya sendiri.
Boy…
Suaranya samar, hampir seperti mimpi.
"Boy," Danu menepuk bahunya. "Kalau kamu takut, gak apa-apa kok. Kita bisa nunggu di desa."
Boy tersenyum kecil. "Takut? Dari dulu aku takut banyak hal, Dan. Tapi… aku lebih takut kalau kalian terluka karena aku."
Itu saja cukup membuat semua temannya saling memandang dan mengangguk. Mereka sudah melihat Boy berubah banyak. Dari anak nakal yang dipandang sebelah mata menjadi seseorang yang berani melindungi.
"Baiklah," Sita menarik napas panjang. "Kita masuk."
Hutan Karang menyambut mereka dengan udara dingin menusuk. Setiap melangkah, tanah berderak lembab, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah. Cahaya bulan hanya bisa menembus sedikit melalui celah-celah daun.
"Ngerasa gak?" Rani berbisik. "Kayak ada yang ngeliatin."
Bukan hanya Rani. Semua merasakan hal yang sama.
Ranting patah.
Semua langsung memasang kuda-kuda.
"Tunggu!" Sita mengangkat tangan. "Ada yang mendekat dari kanan."
Dari balik belukar… muncul sosok putih kecil.
"AAARGH..." Badu hampir teriak sebelum sadar itu hanya seekor monyet putih yang langsung kabur ketakutan.
"Badu!" Sita mencubit lengannya. "Kamu bikin aku jantungan!"
"Bukan salah aku! Tadi kukira kepala tanpa badan!"
Boy tertawa kecil. Aneh, di tengah ketegangan itu, tawa itu terasa seperti cahaya kecil yang menenangkan semuanya. Tapi tawa itu tidak bertahan lama, karena tiba-tiba…
BRUKK!
Sesuatu turun dari pohon, menghantam tanah keras tepat di depan mereka.
"SIAPA?!" teriak Sita sambil mengangkat tongkatnya.
Dari kabut tipis, muncul sosok tinggi berbaju hitam dengan wajah tertutup kain.
"Anak-anak desa…" suaranya parau dan serak. "Kalian seharusnya tidak datang kemari."
Rani bergumam, "Itu bukan anggota Naga Samudera… pakaian mereka beda."
Sosok itu melangkah maju. Mata yang terlihat dari celah penutup wajahnya bersinar samar, bukan cahaya manusia normal. Lebih seperti cahaya hewan buas.
Boy merasakan napasnya tercekat. Entah kenapa… jantungnya berdegup dua kali lipat.
"Kenapa kau mengikuti jejak Naga samudera?" tanya sosok itu.
"Kami mencari pemimpin mereka," jawab Boy tegas. "Dia melukai desa kami. Aku harus menghentikannya."
Sosok itu diam sejenak. Lalu…
"…Namamu Boy, bukan?"
Semua langsung menoleh ke Boy dengan wajah terkejut.
"Bagaimana kau tahu?" Boy menggeram.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, dan angin tiba-tiba berputar di sekitar mereka.
"Bersiap!" teriak Sita.
Namun angin itu bukan untuk menyerang.
Tiba-tiba, kabut menipis, dedaunan bergetar, dan hutan tampak terbuka seperti ruangan luas. Jalur di hadapan mereka berubah menjadi jalan setapak yang lebih terang.
Rani ternganga. "Apa… yang dia lakukan?"
"Cuma membuka jalan," sosok itu berkata. "Kalian akan butuhnya."
Badu menelan ludah. "Tunggu… kau siapa sebenernya?"
Sosok itu menatap Boy. Dalam sorot matanya, ada rasa iba, tapi juga peringatan.
"Aku penjaga hutan ini. Dan kau… Boy…"
Ia berhenti.
"Kau membawa sesuatu yang lebih berbahaya daripada Naga samudera."
Boy terdiam. Apa maksudnya?
Sosok itu memberi salam singkat, lalu berbalik dan menghilang ke dalam bayangan pohon.
"Ini makin aneh," gumam Badu. "Kenapa semua tahu nama Boy? Emangnya dia keturunan pangeran kerajaan apa?"
Rani memandang Boy penuh cemas. "Boy… kamu baik-baik aja?"
Boy memaksakan senyum. "Iya, aku gak apa-apa."
Tapi kenyataannya, ia mulai merasa ada sesuatu yang menggetarkan tubuhnya, sejak tadi. Seperti kekuatan yang tertidur kini mulai bangkit.
Setelah berjalan hampir satu jam, akhirnya mereka menemukan sebuah sungai besar yang memisahkan hutan.
"Gimana nyebrangnya?" tanya Sita.
Ada batu-batu besar yang seharusnya bisa digunakan untuk melompati, tetapi permukaannya sangat licin oleh lumut.
"Sini," Rani menawarkan diri. "Aku coba dulu."
Namun ketika Rani melangkah maju, Boy memegang lengannya cepat.
"Biar aku duluan. Kalau aku jatuh, aku bisa berenang."
Rani menatapnya, wajahnya memerah sedikit. "Yaudah… hati-hati."
Boy melangkah ke batu pertama. Ia mencoba menjaga keseimbangan, namun saat ia hendak lompat ke batu kedua…
ZRAAAK!
Dari dalam sungai muncul sesuatu—sesuatu besar, berkulit keras, seperti ular tetapi dengan sirip-sirip tajam.
"BOY!"
Makhluk itu melompat dengan rahang terbuka.
Boy terjun ke samping, menghindar. Air memercik tinggi.
"Itu apaan?!" Badu berteriak.
"Ular Karang!" Rani segera mengenali. "Binatang penjaga hutan ini!"
Makhluk itu melingkar, siap menyerang lagi.
"Bentuknya kayak naga mini!" Badu menjerit.
Boy mengangkat kedua tangannya, tubuhnya mengambil posisi kuda-kuda yang diajarkan Master Raga. Matanya menajam.
"Teman-teman, mundur!"
"Tapi..."
"Percaya sama aku!"
Ular Karang kembali menerjang. Boy menunduk, memutar tubuh, dan menendang tepat ke bawah rahangnya.
BRAGH!
Makhluk itu terpelanting, tapi tidak lama. Ia bangkit, menggosok sisiknya ke batu, mengeluarkan suara mendesis panjang.
Boy menarik napas dalam.
Fokus, Boy. Rasakan angin. Rasakan tanah. Rasakan dirimu sendiri.
Itulah ajaran Master Raga.
Saat Ular Karang meluncur cepat, Boy melompat ke atas batu besar, lalu meluncur turun sambil memutar tubuhnya.
"HAAAAH!"
Tendangan memutar yang ia lepaskan menghantam kepala makhluk itu.
DUM!
Ular Karang tersungkur ke tanah, berguling, lalu tenggelam ke sungai, tak bergerak lagi.
Sunyi.
Semua terdiam.
"GILA…" Danu melongo. "Boy makin kuat!"
"Dia tadi bergerak kayak… kayak angin," gumam Rani.
Boy mengatur napas. "Ayo lanjut."
Mereka menyebrang sungai menggunakan batu-batu lain yang lebih aman, hingga akhirnya mencapai sisi lain.
Setibanya di jantung hutan, mereka melihat bangunan tua dari batu hitam. Seperti kuil yang sudah lama ditinggalkan.
"Ini pasti markas sementara mereka," kata Boy.
Tiba-tiba, dari dalam kuil, muncul enam orang berpakaian seragam hitam bertanda kepala serigala. Mereka bukan ketua, namun jelas anggota elit.
"Anak desa…" salah satu dari mereka meludah ke tanah. "Kalian bikin Pemimpin kami marah."
Boy maju selangkah. "Aku yang dia cari. Jangan libatkan mereka."
Tapi teman-temannya serempak berdiri di sampingnya.
"Jangan sok-sokan, Boy. Kita satu tim," kata Sita.
"Betul," Danu mengangguk. "Kalau mau kena, ya kena bareng!"
Badu menepuk tinju. "Lawan rame-rame lebih seru."
Rani tersenyum tipis. "Kita sudah sampai sejauh ini. Mundur? Tidak mungkin."
Boy menatap mereka satu per satu. Hatinya terasa hangat.
"Baiklah," katanya. "Kita selesaikan ini."
Anggota Naga Samuderamenyerang lebih dulu.
Pertarungan pecah.
Sita duel melawan dua orang, tongkatnya bergerak seperti bayangan cepat. Danu memanfaatkan kelincahannya, mengelak dan memukul dengan momentum sempurna. Badu dan Rani bekerja sama menjatuhkan lawan dengan kombinasi serangan udara, keduanya bergerak seperti harmoni lembut namun mematikan.
Tapi Boy…
Boy bertarung melawan pemimpin regu kecil itu, yang tubuhnya dua kali lebih besar, dan gerakannya hampir seperti hewan buas.
Pria itu menerjang, tangannya seperti palu batu.
Boy menahan pukulan pertama, namun getarannya membuat lengannya kebas. Pria itu tertawa.
"Kecil. Lemah."
Boy menggeram. "Dulu mungkin iya. Sekarang? Tidak."
Ia menendang tanah, melompat, dan menyerang dengan pukulan langsung ke dada lawannya.
PRAGH!
Pria itu terpental, menghantam dinding batu.
"Kurang ajar!" Ia bangkit lagi, lebih marah.
Tapi Boy tidak mundur.
Ia merasakan sesuatu bergerak keras di dalam dirinya.
Seperti aliran tenaga yang belum pernah ia rasakan.
Seperti… kekuatan yang selama ini tertidur.
Pria itu melompat, mengayunkan tinjunya.
Boy menutup mata sepersekian detik.
Dan saat ia membukanya...
WUSH!
Tubuhnya bergerak begitu cepat hingga teman-temannya kaget.
Ia menghindar, menyusup masuk ke kolong serangan, dan menghantam perut lawannya dengan pukulan yang begitu keras hingga pria itu terangkat dari tanah.
DUMMM!
Pria itu pingsan seketika.
Sunyi.
Pertarungan berakhir.
Semua anggota Naga samudera tumbang.
"Boy…" Rani menatapnya dengan campuran kagum dan cemas. "Tadi kamu… tubuhmu bersinar sedikit."
"Bersinar?" Boy terkejut. "Aku gak ngerasa apa-apa."
"Aku lihat juga," Sita menambahkan. "Kayak ada aura putih tipis di bahumu."
Boy terdiam.
Sebelum ia sempat bertanya, terdengar suara langkah kaki dari dalam kuil batu.
Langkah yang berat.
Langkah yang familiar.
Jantung Boy seakan berhenti.
Dari kegelapan pintu kuil, muncul sosok yang selama ini mereka cari.
Tubuh penuh luka. Mata merah menyala. Senyum bengis.
Pemimpin Naga samudera.
"Jadi… kalian berhasil sampai sini," katanya.
Ia menatap Boy.
"Ternyata kau memang sudah terbangun."
Boy mengerutkan dahi.
"Apa maksudmu?"
Pemimpin itu tersenyum lebih lebar.
"Bocah… kau punya darah Petarung Angin dalam tubuhmu."
Dan seketika, Boy merasakan dunia seperti berhenti berputar.
