Cherreads

Zahir The world martial artist

Tolongcoy
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
387
Views
Synopsis
In a poor village hidden behind the fog of a deep valley lived a young man named Zahir, seventeen years old— a boy who grew up with no family and no future. But his life changed the day he saved a mysterious old man— a man who turned out to be a legendary martial artist from a distant land. From that old master, Zahir began his arduous journey into the world of martial arts— not merely to fight, but to discover the true meaning of strength, honor, and identity. He trained day and night, pushing his body and mind beyond their limits, until he reached a level of mastery far beyond that of ordinary men. Zahir’s journey carried him across mountains, kingdoms, and secret sects, each martial art holding its own philosophy and path to enlightenment. Yet the higher his skill soared, the deeper he was drawn into the dark secrets of the martial world— a hidden war among ancient Grand Masters who sought the ultimate power— a power said to shake the very Edge of the World. “The Edge of the Martial World” is a tale of determination, honor, and the awakening of a poor boy who refused to bow to fate. Told with epic emotion, grand battles, and a stirring spiritual journey, this novel captures the struggle of one man striving toward the perfection of martial arts— and the discovery of his true self at the edge of the world.
VIEW MORE

Chapter 1 - The new dawn

Kabut pagi menyelimuti lembah kecil di kaki Gunung Tembalang.

Sinar matahari merayap perlahan dari balik pepohonan, menembus kabut bagai bilah-bilah emas yang menari di udara. Di tengah kesunyian, sayup-sayup suara ember kayu bergema, mengaduk air di dalam sumur tua yang retak.

Seorang pemuda berdiri di sana—Zahir.

Tubuhnya ramping namun tegap, kulitnya menghitam karena bertahun-tahun terpapar sinar matahari, dan matanya setajam elang yang terbiasa menyendiri. Ia mengenakan kemeja usang sewarna debu dan ikat kepala sederhana. Dua ember bambu berisi air tergantung di bahunya, dan di tangannya bertumpu kekuatan yang lahir dari kerja keras—tanpa arahan, tanpa pengakuan.

Dia memandang ke kejauhan—ke arah desa kecil di bawah.

Asap tipis mengepul dari tungku penduduk desa. Tawa samar anak-anak menggema di udara. Zahir menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik tanpa menoleh.

Tidak seorang pun yang menunggunya di rumah.

Tidak seorang pun pernah memanggil namanya.

Rumahnya hanyalah gubuk reyot di tepi hutan, peninggalan orang tuanya yang meninggal dunia akibat wabah besar sepuluh tahun lalu. Usianya baru delapan tahun saat itu. Wajah mereka kini samar-samar di benaknya—bagaikan pantulan di air yang beriak. Yang bisa ia ingat hanyalah malam itu: batuknya yang tak henti-hentinya, lentera yang redup, dan tubuh dingin ibunya dalam pelukannya.

Sejak hari itu, Zahir tinggal sendirian.

Dan anehnya, dunia tampaknya telah melupakan keberadaannya.

---

Hari-harinya diisi dengan tugas-tugas kecil: menanam sayuran, mengambil air, mengumpulkan kayu bakar, dan terkadang menjual hasil panen di pasar desa.

Dia tidak punya teman—hanya beberapa penduduk desa yang sesekali membayarnya untuk membawa barang-barang mereka.

Mereka memanggilnya "si anak gunung"—seorang pemuda pendiam yang muncul saat dibutuhkan, lalu menghilang lagi seperti kabut pagi.

Bagi Zahir, kesepian itu seperti udara: dia tidak menikmatinya, tetapi dia tidak bisa hidup tanpanya.

Namun malam itu berbeda.

---

Langit bersinar jingga lembut saat Zahir berjalan menyusuri jalan sempit menuju sungai.

Angin pegunungan membawa aroma tanah basah dan dedaunan gugur. Ia berencana mencuci pakaian dan mengambil air sebelum malam tiba—tetapi kemudian ia mengurungkan niatnya.

Dari pepohonan utara terdengar suara aneh—bukan suara binatang, bukan pula suara burung.

Dentingan logam, diikuti bunyi patahan kayu. Zahir menajamkan pendengarannya.

Lalu terdengar erangan pelan—menyakitkan, tegang.

Tanpa berpikir panjang, dia meletakkan ember-embernya dan merayap menuju asal suara itu.

Di balik semak-semak lebat, dia membeku.

Seorang lelaki tua tergeletak di tanah, berlumuran debu dan darah, menggenggam tongkat kayu yang retak. Di depannya berdiri tiga pria berpakaian hitam, masing-masing menghunus pedang melengkung.

"Kau sudah tamat, orang tua," gerutu salah satu dari mereka. "Serahkan gulungan itu, dan kami akan membiarkanmu mati cepat."

Orang tua itu terkekeh lemah, sambil batuk darah, tetapi dia tidak pernah melepaskan gulungan kain kecil dalam genggamannya.

"Pengetahuan ini... tidak seharusnya berada di tangan yang kotor. Aku lebih baik binasa bersamanya daripada memberikannya kepadamu."

Salah satu pria itu menerjang ke depan, mengayunkan pedangnya tanpa ragu-ragu.

Orang tua itu menangkis dengan tongkatnya, benturan itu bergema tajam melalui pepohonan.

Tetapi tubuhnya yang lemah jelas telah mencapai batasnya.

Zahir berjongkok di balik semak-semak, napasnya sesak. Ia tak mengerti apa yang terjadi, tetapi dadanya terasa panas.

Tangannya gemetar.

Dia hanya tahu satu hal—jika dia tidak melakukan apa pun, orang tua itu akan mati.

Sebelum rasa takut dapat menghentikannya, Zahir meraih batu besar di samping kakinya dan melemparkannya sekuat tenaga.

Gedebuk!

Batu itu mengenai kepala salah satu penyerang. Pria itu terhuyung dan mengumpat. Dua lainnya berbalik ke arah semak-semak.

"Siapa di sana?!"

Zahir melangkah keluar, jantungnya berdebar kencang seperti guntur.

"Lepaskan dia!" teriaknya.

Para lelaki itu menatapnya, seakan-akan seekor anjing jalanan menggonggong pada harimau.

"Hah, bocah gunung?" ejek salah satu dari mereka. "Kalau begitu, kau akan mati bersamanya."

Dua di antaranya menyerang. Zahir menelan ludah. ​​Ia belum pernah melawan siapa pun sebelumnya, apalagi pria bersenjata pedang. Namun, tubuhnya bergerak berdasarkan insting, bukan akal sehat.

Sebuah tebasan mendarat di wajahnya—ia merunduk, meraih segenggam tanah, dan melemparkannya ke mata penyerangnya. Pedangnya meleset, dan Zahir menendang lutut pria itu sekuat tenaga. Pria itu menjerit dan jatuh.

Namun yang lain datang dari samping, bilah pedang mengarah ke leher Zahir.

Dia menahan napas—dan tiba-tiba, tongkat lelaki tua itu menghantam pedang dari belakang.

Retakan!

"Jangan diam saja, Nak! Gunakan kakimu!" ​​gerutu lelaki tua itu.

Zahir menurut tanpa berpikir panjang, menendang pria itu tepat di dada. Ia terlempar mundur.

Namun, penyerang pertama sudah bangkit, dengan amarah di matanya. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, siap menebas Zahir—

Lalu orang tua itu menggerakkan tangannya di udara.

Angin bertiup kencang. Daun-daun kering berputar-putar membentuk pusaran kecil yang bercahaya. Dalam sekejap, pria itu tersandung, matanya buta, dan tongkat lelaki tua itu mengenai tengkuknya.

Berdebar!

Tubuhnya roboh, tak bergerak.

Dua orang sisanya menatap dengan ketakutan, lalu melarikan diri ke hutan tanpa menoleh ke belakang.

Kesunyian.

Hanya suara napas dan bisikan angin yang tersisa.

Zahir bergegas menghampiri lelaki tua itu, yang sedang berlutut dan berdarah di bahunya.

"Kakek, kamu terluka!"

"Bukan apa-apa," kata lelaki tua itu sambil tersenyum tipis. "Bantu aku duduk."

Zahir menopangnya dengan lembut. Tubuhnya ringan namun rapuh, bagai ranting kering yang siap patah. Mereka duduk di bawah pohon besar. Tatapan Zahir tertuju pada gulungan kecil yang telah dipertaruhkan nyawanya untuk dilindungi lelaki tua itu.

"Apa itu, Kakek?" tanyanya lembut.

Orang tua itu menatap langit, lalu ke arah pemuda di hadapannya.

"Sebuah ajaran... dari zaman yang hampir terlupakan. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah jatuh ke tangan serakah."

Dia berhenti sejenak, matanya mengamati wajah Zahir.

"Kau punya mata yang tak takut mati—tapi juga tak menginginkannya. Dunia butuh orang seperti itu."

Zahir mengerutkan kening. "Aku… aku tidak tega melihat mereka membunuhmu."

"Itulah yang membuatmu berbeda," kata lelaki tua itu.

"Siapa namamu, Nak?"

"Zahir."

Senyum lelaki tua itu makin dalam.

"Zahir… yang terlihat. Mungkin sudah waktunya apa yang dulu tersembunyi terlihat lagi."

Zahir tidak mengerti maksudnya, tetapi lelaki tua itu memejamkan matanya, menatap senja ungu di atas.

"Mulai malam ini, Zahir, hidupmu tidak akan pernah sama lagi."

Dan ketika seekor gagak berkokok sendirian di kejauhan, gema suaranya menyebar di langit yang memudar—

seolah-olah langit itu sendiri menandai dimulainya sebuah perjalanan.

Perjalanan seorang anak laki-laki yang ditakdirkan untuk menjadi Pelindung Dunia Bela Diri — Zahir.